BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Istilah wacana berasal dari kata
sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu
kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan
lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang
pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang
digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih
besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Kata wacana
juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi,
sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pembahasan wacana
berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan
berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana
maupun keterampilan berbahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi.
Wacana berkaitan dengan unsur
intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang berkaitan
dengan proses komunikasi seperti interaksi sosial (konversasi dan pertukaran)
dan pengembangan tema (monolog dan paragraf). Realitas wacana dalam hal ini
adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan
verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktur
bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu
pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat atau tanda-tanda
yang bermakna).
Wujud wacana sebagai media
komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi
wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau dialog lengkap dan
penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud
sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
Berdasarkan uraian di atas, betapa
pentingnya apa itu wacana dan memahaminya supaya tidak terjadinya kesalah
pahaman dalam pengertian wacana, maka dari itu kami menbahas topik wacana.
B. Rumusan
Masalah
Untuk menghindari adanya
kesimpangsiuran dalam makalah ini, maka kami membatasi masalah-masalah yang
akan dibahas diantaranya:
1. Untuk mengetahui pengertian wacana?
2. Kedudukan Wacana?
3. Macam – macam Wacana?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. WACANA
1.
Pengertian Wacana
Istilah
Wacana secara etimologi, “wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak,
artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya,
maka kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata
kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu
‘melakukan tindakan ujaran’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi
wacana. Bentuk ana yang muncul dibelakang adalah sufiks (akhiran), yang
bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Jadi kata wacana dapat diartikan
sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Dalam Kamus
Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karangan Wojowasito (1989:651), terdapat kata waca
yang berarti ‘baca’, kata u/amaca yang artinya ‘membaca’, pamacan
(pembacaan), ang/mawacana (berkata), wacaka (mengucapkan), dan wacana
yang artinya ‘perkataan’. Kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks
kalimat bahasa Jawa Kuno berikut: “Nahan wuwus sang tapa sama madhura wacana
dhara” (Demikian sabda sang pandita, ramah sikap dan perkataananya).
Kata wacana
secara umum mengacu pada artikel, percakapan, atau dialog, karangan,
pernyataan. Jika kita membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia maka wacana
adalah bahan bacaan, percakapan atau tuturan. Kata wacana digunakan sebagai
istilah yang merupakan padangan dari istilah discourse dalam bahasa
Inggris.
·
Wacana, Discourse, Discursus
Oleh para
ahli linguis Indonesia dan negara-negara berbahasa Melayu lainya, istilah
wacana sebagai mana diuraikan diatas, dikenalkan dan digunakan sebagai bentuk
terjemahan dari istilah bahas Inggris ‘discourse’ (Dede Oetomo, 1993:3).
Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin ‘discursus’ yang
berarti ‘lari ke sana kemari’, ‘lari bolak-balik’. Kata ini dituturkan dari ‘dis’
(dari/dalam arah yang berbeda) dan ‘currere’ (lari). Jadi discursus
berarti ‘lari dari arah yang berbeda’. Perkembangan asal usul kata itu dapat
digambarkan sebagai berikut.
Dis + curere → discursus → discourse (wacana)
Webster (1983:522) memperluas makna discourse
sebagai berikut: (1) Komunikasi kata-kata, (2) ekspresi gagasan-gagasan, (3)
risalah tulis, ceramah dan sebagainya. Penjelasan itu mengisyaratkan bahwa discourse
berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan
maupun tulisan.
Unsur pembeda antara ‘bentuk wacana’
dengan ‘bentuk bukan wacana’ adalah pada ada tindakanya kesatuan makna
(organisasi semantis) yang dimilikinya. Oleh karenanya, kriteria yang relatif
paling menentukan dalam wacana adalah keutuhan maknanya. Ketika seseorang di
suatu warung makan mengatakan:
1. “Soto, es jeruk,
dua.”
Ucapan itu dapat dimaknai sebagai
wacana karena mengandung keutuhan makna yang lengkap. Keutuhan itu tersirat
dalam hal-hal berikut: 1) urutan kata ditata secara teratur, 2) makna dan
amanatnya berkesinambungan, 3) diucapkan ditempat yang sesuai (kontekstual),
dan 4) antara penyapa dan pesapa saling dapat memahami makna tuturan singkat
tersebut (mutual intelligibility).
Selanjutnya, mari kita perhatikan
kalimat-kalimat berikut ini.
2. Jaman
sekarang disebut sebagai jaman modern. Sekarang ini banyak
orang bingung tidak tahu jalan. Kendaraan di jalan tol sangat padat.
Makna dan amanat setiap kalimat pada
bentuk (2) di atas sangat jelas dan mudah dipahami. Bahkan, terdapat alat
kohesi (repetisi) antar kalimat. Misalnya jaman sekarang – sekarang ini,
tidak tahu jalan – jalan tol. Akan tetapi bentuk tersebut bukan wacana. Hal
itu disebabkan, secara keseluruhan bentuk tadi tidak memiliki hubungan makna
antar kalimat. Tiap-tiap kalimat berdiri sendiri. Artinya, makna kalimat
tersebut satu sama lain terputus. Bentuk tersebut sama sekali tidak
komunikatif, sehingga sulit dimengerti kaitan makna antar kalimat yang satu
dengan kalimat lainnya.
Contoh tersebut kiranya menjelaskan
apa yang dikatan para ahli bahasa tentang wacana. Anton M. Moeliono (1988:334),
mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna.
Disamping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki
kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.
Menurut Harimurti Kridalaksana
(1985:184), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal,
merupakan satuan gramatikal atau satuan bahas tertinggi dan terbesar. Wacana
ini direalisasikan dalam bentuk kata, karangan utuh (novel, buku, seri
ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat
yang lengkap. Adapun Samsuri (1988:1) memandang wacana dari segi komunikasi.
Menurutnya dalam sebuah wacana, terdapat konteks wacana, topik, kohesi dan
koherensi. Kohesi adalah adanya keterkaitan antar kalimat. Sedangkan Koherensi
adalah adanya keterkaitan antar ide-ide atau gagaan-gagasan kalimat.
HG Tarigan (1987:27) mengemukakan
wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan
kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang
jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis.
Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai
wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks
yang melingkupinya.
Jadi, wacana adalah susunan ujaran
yang merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, saling berkaitan dengan
koherensi dan kohesi berkesinambungan membentuk satu kesatuan untuk tujuan
berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
·
Kedudukan Wacana Dalam Satuan Kebahasaan
Dalam satuan kebahasaan atau hirarki
kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi
(Harimurti Kridalaksana, 1984:334). Hal ini disebabkan wacana – sebagai satuan
gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistik mengandung semua unsur
kebahasaan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi.
Tiap kajian wacana akan selalu
mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada dibawahnya, seperti fonem,
morfem, frasa, klausa, atau kalimat disamping itu, kajian wacana juga
menganalisis makna dan konteks pemakaiannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita
perhatikan bagan dibawah ini.
2.
Bagan Kedudukan Wacana Dalam Satuan
Kebahasaan
Bagan di atas menujukan bahwa
semakin ke atas, satuan kebahasaan akan semakin besar (melebar). Artinya,
satuan kebahasaan yang ada di bawah akan mencakup dan menjadi bagian dari
satuan bahasa yang berada di atasnya. Demikian seterusnya, hingga mencapai unit
‘wacana’ sebagai satuan kebahasaan yang paling besar.
1. Ragam Wacana
Pengelompokan wacana bergantung pada
sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam
komunikasi dikenal ada wacana monolog, dialog dan poligon. Sedangkan dilihat
dari tujuan komunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi
dan narasi. Sedangkan dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana lisan
dan tulisan. Berikut, penjelasan mengenai jenis-jenis atau ragam wacana yang
telah disebutkan tadi.
1. Jenis
wacana dilihat berdasarkan jumlah peserta
Dalam wacana ini yang terlibat
pembicaraan dalam berkomunikasi. Ada tiga jenis wacana berdasarkan wacana
jumlah peserta yang ikut ambil bagian sebagai pembicaraan, yaitu monolog,
dialog, dan polilog.
·
Wacana Monolog
Pada wacana monolog, pendengar tidak
memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan pembicara. Pembicara mempunyai
kebebasan untuk menggunakan waktunya, tanpa diselingi oleh mitra tuturnya.
Contoh dari wacana monolog adalah ceramah, pidato.
·
Wacana Dialog
Kemudian, apabila peserta dalam
komunikasi itu ada dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicaraan
menjadi pendengar atau sebaliknya), wacana yang dibentuknya disebut dialog.
Contoh dari wacana dialog, adalah antara dua orang yang sedang mengadakan
perbincangan di sekolah. Situasinya bisa resmi dan tidak resmi.
·
Wacana Polilog
Adapun apabila peserta dalam
komunikasi itu lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, wacana yang
dihasilkan disebut polilog. Contohnya adalah perbincangan antara beberapa orang
dan mereka memiliki peran pembicaraan dan pendengar. Situasinya pun bisa resmi
dan tidak resmi.
2. Jenis
wacana ditinjau dari tujuan berkomunikasi
Wacana berdasarkan tujuan
berkomunikasi, diantaranya wacana argumentasi, persuasi, eksposisi, deskripsi,
dan narasi. Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan kelima wacana tersebut.
·
Wacana Argumentasi
Karangan argumentasi merupakan salah
satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar agar
menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan
logis dan emosional (Rottenberg, 1988:9). Argumentasi adalah semacam bentuk
wacana yang berusaha membuktikan suatu kebenaran. Lebih jauh sebuah argumentasi
berusaha mempengaruhi serta mengubah sikap dan pendapat orang lain untuk
menerima suatu kebenaran dengan mengajukan bukti-bukti mengenai objek yang
diargumentasikan itu. (Gorys Keraf, 1995:10) dilihat dari sudut proses berfikir
adalah suatu tindakan untuk membentuk penalaran dan menurunkan kesimpulan.
Contoh wacana argumentasi adalah :
Namun, yang menjadi kekawatiran
adalah adanya efek negatif akibat dosis vitamin dan mineral yang dikonsumsi
secara berlebihan, terutama oleh mereka yang memiliki kondisi tubuh yang sehat.
Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa multivitamin tidak terbukti dapat
mencegah timbulnya suatu penyakit dan suplemen vitamin juga tiadak bisa
memperbaiki gizi yang buruk akibat pola makan yang sembarangan. Bahkan meminum
jenis vitamin dan mineral dalam dosis tinggi dalam jangka waktu panjang bisa
memicu resiko timbulnya penyakit tertentu. (Reader’s Digest Indonesia,
Oktober 2004).
·
Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi bertujuan untuk
menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar bersangkutan
memahaminya. Eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan
suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca. Wacana ini
digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu objek, misalnya menjelaskan
pengertian kebudayaan, komunikasi, perkebangan teknologi, pertumbuhan ekonomi
kepada pembaca.
Wacana ini juga menyajikan penjelasan yang akurat dan padu
mengenai topik-topik yang rumit, seperti struktur negara atau pemerintahan,
teori tentang timbulnya suatu penyakit. Ia juga digunakan untuk menjelaskan
terjadinya sesuatu, beroprasinya sebuah alat dan sebagainya. Contoh wacana
eksposisi:
Agar diperoleh hasil maksimal, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Sebelum melakukan pemutihan gigi,
pasien perlu terlebih dahulu didiagnosis kondisi giginya, seperti enamel gigi
harus bagus karena proses pemutihan berlangsung pada enamel gigi.
2. Selain itu juga diperhatikan apakah
gigi tersebut masih aktif atau tidak.
3. Setelah melakukan pembersihan gigi,
baru dokter akan mengarahkan untuk memilih produk yang sesuai untuk dipakai
(“Tampilkan Gigi Putih Berseri”, Majalah Dewi No.5/XIII).
·
Wacana Persuasi
Wacana persuasi adalah wacana yang
bertujuan mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan perbuatan sesuai yang
diharapkan penuturnya. Untuk mempengaruhi pembacanya, biasanya digunakan segala
daya upaya yang membuat mitra tutur terpengaruh. Untuk mencapai tujuan
tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional.
Persuasi sesungguhnya merupakan penyimpangan dari argumentasi, dan khusus
berusaha mempengaruhi orang lain atau para pembaca. Agar pendengar atau pembaca
melakukan sesuatu bagi orang yang mengadakan persuasi, walaupun yang dipersuasi
sebenarnya tidak terlalu percaya akan apa yang dikatakannya itu. Persuasi lebih
mengutamakan untuk menggunakan atau memanfaatkan aspek-aspek pesikologis untuk
mempengaruhi orang lain. Jenis wacana persuasi yang paling sering kita temui
adalah kampanye dan iklan. Contoh wacana iklan sebagai berikut.
“pakai Daia, lupakan yang lain.
Dengan harga yang semurah ini, membersihkan tumpukan pakaian kotor Anda,
menjadi lebih bersih cemerlang”.
·
Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi adalah bentuk
wacana yang berusaha menyajikan suatu objek atau suatu hal sedemikian rupa
sehingga objek itu, sepertinya dapat dilihat, dibayangkan oleh pembaca,
seakan-akan pembaca dapar melihat sendiri. Deskripsi memiliki fungsi membuat
para pembacanya seolah melihat barang-barang atau objeknya. Sebuah diskripsi
mengenai rumah diharapkan menyajikan banyak penampilan individu dan
karakteristik dari rumah itu, dan beberapa aspek yang dapat dianalisis, seperti
besarnya, materi konstruksinya, dan rancangan arsitekturnya.
Secara singkat deskripsi bertujuan
membuat para pembaca menyadari apa yang diserap penulis melalui panca indranya,
merangsang perasaan pembaca mengenai apa yang digambarkan, menyajikan suatu
kualitas pengalaman langsung. Objek yang dideskripsikan mungkin sesuatu yang
bisa ditangkap dengan panca indra kita, sebuah hamparan sawah yang hijau dan
pemandangan yang indah, jalan-jalan kota, tikus-tikus selokan, wajah seorang
yang cantik molek atau seseorang yang bersedih hati, alunan musik atau gelegar
guntur dan sebagainya. Contoh:
Pada jeram pertama perahu besar
berbalik arah, lalu memasuki jeram ketiga dengan bagian buritan terlebih
dahulu, sampai akhirnya… brak! Perahu menghantam batu besar seukuran 4 x 3
meter, dan menempel pada batu dalam keadaan miring. (“Jeram Maut,” Reader’s
Digest Indonesia¸Oktober 2004).
·
Wacana Narasi
Wacana narasi merupakan satu jenis
wacana yang berisi cerita. Pada wacana narasi terdapat unsur-unsur cerita yang
penting, seperti waktu, pelaku, peristiwa. Adanya aspek emosi yang dirasakan
oleh pembaca atau penerima. Melalui narasi, pembaca atau penerima pesan dapat
membentuk citra atau imajinasi. Contoh wacana narasi:
Sewaktu aku duduk di ruang
pengadilan yang penuh sesak itu, menunggu perkaraku disidangkan, dalam hatiku
bertanya-tanya berapa banyak orang-orang hari ini di sini yang merasa, seperti
apa yang kurasakan bingung, patah hati, dan sangat kesepian. Aku merasa
seolah-olah aku memikul beban berat seluruh dunia di pundaku.
3. Jenis
wacana dilihat dari bentuk saluran yang digunakan
Saluran yang digunakan dalam
berkomunikasi, bisa dibedakan menjadi wacana lisan dan wacana tulisan. Wacana
tulisan adalah rangkaian kalimat yang ditranskripkan dari rekaman bahasa lisan.
Adapun wacana tulis adalah teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan
ragam tulis. Adapun contoh wacana lisan, misalnya percakapan, khotbah
(spontan), dan siaran langsung di radio atau TV. Sedangkan wacana tulis dapat
kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel, makalah.
3.
ALAT-ALAT PEMBENTUK WACANA
Alat-alat pembentuk wacana merupakan
unsur-unsur yang membangun atau membentuk wacana. Alat-alat pembentuk wacana
itu juga disebut elemen-elemen wacana. Perhatikan contoh wacana berikut.
Cara Mudah Melawan Sters
1. Kalau pikiran sedang jenuh, cobalah
berjalan-jalan di taman. Jika anda suka, berkebunlah. Hasil penelitian
menunjukan bahwa bercengkraman dengan bunga-bunga dan tanaman akan mampu
meredam stres, rasa cemas, dan kegelisahan, serta membangkitkan rasa bahagia.
2. Tidur, merupakan kesempatan terbaik
bagi otak dan tubuh untuk beristirahat. Pastikan anda cukup tidur malam,
apabila tidak bisa coba penuhi dengan tidur siang atau sekedar beristirahat di
meja kerja anda. Tutup pintu, matikan lampu, dan pejamkan mata, bayangkan anda
berada di tempat yang tenang, damai, dan indah.
3. Setelah itu hadapi setres dengan
belajar dan belajar. Mungkin saat sekolah kita sering merasa pusing belajar,
tetapi ternyata jika Anda sudah bekerja, kegiatan belajar bisa jadi “pelarian”
yang menyenangkan. Menurut American Jurnal of Health Promotion,
mengambil kursus-kursus selain memperluas wawasan berfikir juga meningkatkan
kesehatan jiwa.
4. Dari pada mengeluh, lebih baik Anda
melihat segala sesuatu dari sisi positifnya. Mereka yang percaya pada kekuatan
yang lebih besar dari kekuatan manusia, biasanya mampu melewati badai dalam
hidupnya dengan lebih baik (diambil dari Majalah Fit9/VII/September
2003).
Elemen-elemen yang terdapat dalam
teks wacana contoh diatas, elemen yang pertama adalah judul teks. Elemen kedua
adalah tubuh teks. Tubuh teks terdiri dari 4 elemen, yaitu paragraf 1, paragraf
2, paragraf 3, dan paragraf 4.
Adapun persyaratan gramatikal dalam
wacana dapat dipenuhi atau dalam wacana itu sudah terbina yang di sebut adanya
keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut. Bila
wacana itu kohesif, akan terciptalah kekoherensian yaitu isi wacana yang apik
dan benar.
Kekohensifan wacana itu dilakukan
dengan mengulang kata pembaruan pada kalimat (1) dengan kata pembaruan pada
kalimat (2); serta mengulang frase perubahan jiwa pada kalimat (2) perubahan
kalimat (3). Adanya pengulangan unsur yang sama itu menyebabkan wacana itu
menjadi koherens dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang
tampak kohesif, belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Jadi syarat
terbentunya wacana apabila adanya kohesif dan koherensi.
Alat-alat gramatikal yang dapat
digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif antara lain.
1. Konjungsi, yakni alat untuk
menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat atau menghubungkan paragraf dengan
paragraf. Dengan penggunaan konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih
eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang
tanpa konjungsi. Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada contoh diatas, hubungan antar
kalimat pertama dengan kalimat kedua itu tidak jelas: apakah hubungan
penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan
menjadi jelas, misal diberi konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut:
1.
Raja sakit dan permaisuri meninggal.
2.
Raja sakit karena permaisuri meninggal.
3.
Raja sakit ketika permaisuri meninggal.
4.
Raja sakit sebelum permaisuri meninggal.
5.
Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal.
6.
Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal
2. Mengunakan kata ganti dia, nya,
mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforsis. Dengan menggunakan kata ganti
sebagai rujukan anaforsis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di ulang,
melainkan diganti dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga,
kalimat-kalimat tersebut saling berhubungan.
3. Mengunakan ellipsis, yaitu
penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain. Dengan
ellipsis, karena tidak di ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak
menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung
kalimat di dalam wacana itu.
Selain dengan upaya gramatikal,
sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan baebagai aspek
semantik. Caranya,
antara lain:
1. Menggunakan hubungan pertentangan
pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana. Misalnya:
Kemarin hujan turun lebat sekali.
Hari ini cerahnya bukan main.
Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa berbicara.
Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa berbicara.
2. Menggunakan hubungan generik –
spesifik; atau sebaliknya spesifik – generik. Misalnya:
3. Pemerintah berusaha menyediakan
kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan akan berupaya mengurangi mobil-mobil
pribadi.
4. Kuda itu jangan kau pacu terus.
Binatang juga perlu istirahat.
5. Menggunakan hubungan perbandingan
antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu
wacana. Misalnya:
Dengan cepat di sambarnya tas wanita
pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar anak ayam.
Lahap benar makanannya. Seperti
orang yang sudah satu minggu tidak ketemu nasi.
6. Menggunakan hubungan sebab-akibat di
antara kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu
wacana. Misalnya:
Dia malas, dan sering kali bolos
sekolah. Wajarlah kalau tidak naik kelas.
Pada pagi hari bus selalu penuh
sesak. Bernafas pun susah di dalam bus itu.
7. Menggunakan hubungan tujuan di dalam
isi sebuah wacana. Misalnya:
Semua anaknya disekolahkan. Agar
kelak tidak seperti dirinya.
Banyak jembatan layang di bangun di
Jakarta. Supaya kemacetan lalu lintas teratasi.
8. Menggunakan hubungan rujukan yang
sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
Becak sudah tidak ada lagi di
Jakarta. Kendaraan roda tiga itu sering di tuduh memacetkan lalulintas.
Kebakaran sering melanda Jakarta.
Kalau dia datang si jago merah itu tidak kenal waktu, siang atau pun malam.
4.
ANALISIS WACANA
Seperti
dikatakan Stubbs (1983:1), analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti
atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis
maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah adalah bahwa penggunaan bahasa,
seperti dalam komunikasi sehari-hari. Data dalam wacana dapat berupa teks, baik
teks lisan, maupun teks tulis. Teks merujuk pada bentuk rangkaian kalimat atau
ujaran. Istilah kalimat digunakan dalam ragam bahasa tulis, sedangkan ujara
digunakan untuk mangacu pada kalimat dalam ragam bahasa lisan.
Dalam
analisi wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan
prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah interpretasi berdasarkan
konteks, baik konteks linguistik maupun konteks nonlinguistik. Konteks non
linguistik yang erupakan koteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga
dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan.
Prinsip
interpretasi analogi adalah
prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama
atau yang sesuai. Konteks yang diperhatikan adalah yang paling relevan saja
dengan situasi yang sedang berlangsung karena pengalaman terdahulu sudah cukup
membantu untuk memahami wacana.
Dalam
analisis wacana juga terdapat istilah kohesi dan koherensi.
Istilah tersebut telah dibahas secara sekilas di awal. Kohesi mengacu
pada hubungan antar bagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan
unsur bahasa sebagai pengikatnya. Untuk menghubungkan informasi antar kalimat.
Contoh kata yang digunakan, seperti kata selain, sebab, ini, itu, dan. Koherensi
adalah kepaduan gagasan antar bagian dalam wacana. Dalam sebuah wacana pada
tiap kalimatnya terdapat gagasan.
5.
PENYUSUNAN WACANA SEDERHANA DENGAN
MEMPERHATIKAN KAIDAH BAHASA
Perhatikan contoh wacana berikut
ini!
Di negara-negara maju, makanan untuk
kebutuhan-kebutuhan khusus, seperti untuk diet penurunan berat badan atau diet
diabetes, sudah lazim dan bisa dengan mudah diperoleh sehingga mereka yang
tidak berdiet, tetapi sudah peduli pada kesehatannya pun bisa memanfaatkan
produk semacam ini. Mungkin sekarang ini sudah saatnya pula anda memanfaatkan
dengan cara mengkonsumsi produk sejenis. Anda ingin sehat, bukan ? (diambil
dari Majalah Fit No.9/VII/September 2003).
Dalam wacana tersebut, terdapat
hubungan kohesi, misalnya terdapat kata makanan untuk kebutuhan khusus
seperti diet (kalimat 1). Pada kalimat-kalimat berikutnya juga terdapat
pengulangan-pengulangan kata tersebut, dengan mengunakan kata produk macam
ini (kalimat 3) atau produk sejenis (kalimat 4). Pada wacana ini pun
terdapat hubungan koherensi, yaitu terdapat kaitan makna atau ide antara
kalimat pertama dengan kalimat-kalimat berikutnya. Kalimat (2), merupakan
penjelasan dari kalimat (1), dan kalimat (3), merupakan penjelasan dari kalimat
(2). Begitu seterusnya.
Pada wacana tersebut, juga terdapat
prinsip interpretasi lokal, misalnya terdapat kata, negara-negara maju,
sekarang. Sedangkan untuk prinsip interpretasi analogi, pembaca wacana
tersebut tentunya dapat meng interpretasi isi wacana tersebut sesuai dengan
pengalamannya dalam mengetahui tentang baiknya mengonsumsi makanan berkalori
rendah demi kesehatanya.
Demikianlah contoh wacana yang
memiliki kohesi, koherensi, prinsip interpretasi lokal dan prinsip interpretasi
analogi didalamnya. Semoga anda dapat membuat sebuah wacana yang memiliki
kaidah-kaidah yang telah di jelaskan sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istilah wacana berasal dari kata
sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu
kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan
lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang
pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang
digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih
besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan.
Kata wacana juga banyak dipakai oleh
banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik,
komunikasi, sastra dan sebagainya. Wacana merupakan satuan bahasa di atas
tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan
bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk
lisan atau tulis.
DAFTAR PUSTAKA
Anton
M. Moeliono (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Douglas,
Mc. 1976. Sanskrit Dictionary. New York: Columbia University.
Keraf,
Gorys. 1995. Eksposisi: Komposisi Lanjutan II. Jakarta: Grasindo.
Kridaklaksana,
Harimurti. 1978. “Keutuhan Wacana” dalam Bahasa dan Sastra th. IV No.1.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
——-.
1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
——-.
1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Mulyana.
2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Oetomo,
Dede. 1993. “Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana”, dalam PELLBA 6. Yogyakarta:
Kanisius.
Rosdiana,
Yusi., dkk. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Rottenberg,
Annette T. 1988. Elements of Arguments: A Text and Reader. New York: A
Bedford Books ST. Martin’s Press
Samsuri.
1988. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Stubbs,
Michael. 1983. Discourse Analysis. Chichago: The University at Chichago
Press.
Tarigan,
H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Webster.
1983. New Tweentieth Century Dictionary. USA: The World Publishing
Company.
Wojowasito.
1989. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
0 komentar:
Posting Komentar