Kamis, 29 Desember 2016

Makalah Kajian Pragmatik



BAB I
PENDAHULUAN


I.1        Latar Belakang
           
Pragmatik adalah kajian ilmu bahasa tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda itu. 
Saat ini topik pragmatik sangat dikenal dalam linguistik. Padahal dahulu pragmatik dianggap tidak penting. Sikap ini berubah ketika pada akhir tahun 1950an Chomsky menemukan titik pusat sintaksis. Namun sebagai seorang struktualis ia masih menganggap makna terlalu rumit untuk dipikirkan dengan sungguh- sungguh. Pada permulaan tahun 1960 Katz dan kawan- kawannya (Katz dan Fodor, 1963; Katz dan Postal, 1964; Katz, 1964) mulai menemukan cara memasukkan makna ke dalam teori linguistik formal, dan tidak lama kemudian semangat “California atau bust” membuat pragmatik masih mencakup. Kemudian pada tahun 1971 lakoff dan lain- lainnya berargumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari studi penggunaan bahasa. Sejak saat itu pragmatik masuk dalam peta linguistik. Masuknya pragmatik dalam linguistik merupakan tahap akhir dalam gelombang ekspansi linguistik, dari sebuah ilmu sempit yang mengurusi data fisik bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang luas yang meliputi bentuk, makna dalam konteks. Tetapi, ini tahap perkembangan jalur utama aliran linguistik di belahan Amerika. Pada 1940-an di belahan Eropa sudah berkembang kegiatan mengkaji bahasa dengan mempertimbangkan makna dan situasi (aliran praha, aliran firth) dan pada tahun 1960-an Halliday megembangkan teori social mengenai bahasa.
II.1      Tujuan
Melalui Makalah ini kita dapat menjelaskan dan mengembangkan pengertian dari Pragmatik sebagai salah satu bentuk kajian ilmu bahasa untuk dapat diterapkan dalam menggunakan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Disini kita akan membahas :
a.       Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya Pragmatik
b.       Defenisi Pragmatik Menurut Para Ahli
c.       Hakikat Pragmatik.




Diharapkan melalui makalah “Pragmatik” ini kita dapat mengetahui bagaimana sejarah dan lahirnya Pragmatik sebagai salah satu kajian ilmu tata bahasa. Selain itu juga kita mampu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pragmatik itu sendiri berdasarkan kajian / pendapat para ahli. Selanjutnya melalui makalah Pragmatik ini juga kita mampu menjelaskan hakikat pragmatik sebagai salah satu kajian ilmu tata bahasa untuk dapat diterapkan melalui penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.




























BAB II
POKOK BAHASAN

II.1      Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya Pragmatik
Munculnya istilah pragmatik dapat dihubungkan dengan seorang filsuf yang bernama Charles Morris (1938). Ia sebenarnya mengolah kembali pemikiran para filsuf pendahulunya seperti Locke dan Peirce mengenai semiotik (ilmu tanda dan lambang). Oleh Morris semiotik dibagi menjadi tiga cabang : sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda, semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan obyek, dan pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir. Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda bahasa bukan tanda yang lain.
Perubahan linguistik di Amerika pada tahun 1970-an diilhami oleh karya filsuf-filsuf seperti : Austi (1962) dan Searle (1969), yang melimpahkan banyak perhatian pada bahasa. Teori mereka mengenai tindak ujaran mempengaruhi perubahan linguistik dari pengkajian bentuk-bentuk bahasa (yang sudah mapan dan merata pada tahun 1950-1960-an) ke arah fungsi-fungsi bahasa dan pemakaiannya dalam komunikasi.
Di Indonesia konsep pragmatik baru diperkenalkan pertama kali dalam kurikulum bidang studi Bahasa Indonesia (Kurikulum 1984) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila dibandingkan dengan munculnya istilah pragmatik (1938) kita tampaknya jauh ketinggalan dari mereka. Yang penting adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik dalam hubungannya dengan kajian bahasa.
            Perkembangan Pragmatik Dunia
            Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial. 
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, perlokusi, dan daya ilokusi tuturan. Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu: Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif.
Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Menurut Grace, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip ini terdiri atas empat bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54), keunggulan teori prinsip kerja sama ini terletak pada potensinya sebagai teori inferensi apakah yang dapat ditarik dari tuturan yang bidal kerja sama itu. Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”. Hal ini berdasarkan penelitian tentang penerapan prinsip kerja sama di masyarakat Malagasi.
Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.
Fraser (1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak tutur. Gadzar (1979) membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik, yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis. Gumperz (1982) mengembangkan teori implikatur Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia berpendapat bahwa pelanggaran atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal kuantitas dan cara menyiratkan sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak diekspresikan itulah yang dinamakan implikatur percakapan. Levinson (1983) mengemukakan revisi sebagai uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori implikatur. Leech (1983) mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Mey (1993) mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: mikropragmatik dan makropragmatik. Schiffrin (1994) mambahas berbagai kemudian kajian wacana dengan menggunakan pendekatan pragmatic. Yule (1996) mengembangkan teori tentang PKS dengan menghubungkannya dengan keberadaan tamengan (hedges) dan tuturan langsung-tuturan tak langsung. Van Dijk (1998-2000) mengembangkan model analisis wacana kritis (Critical Discourse Analyses/ CDA) di dalam teks berita. Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.



Perkembangan Pragmatik di Indonesia.
Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secara umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam.
Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis magisternya.

II.2      Defenisi Pragmatik Menurut Para Ahli
                  Berikut ini adalah berbagai defenisi Pragmatik menurut para ahli :
a.       Menurut Wijana dan Rohmadi (2011: 4) pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan  di dalam komunikasi.
b.      Menurut Leech (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011: 5) pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi dengan tatabahasa yang terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik melalui semantik.
c.       Menurut Cruse (dalam Cummings, 2007: 2) pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensiyang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut (penekanan ditambahkan).
d.      Parker (1986:11) mengemukakan pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa secara eksternal atau berdasarkan makna konteks. Berikut penjelasan yang diutarakan oleh Parker.
“Pragmatics is distinct from grammer, which is the study of the internal structure or language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate”.
e.       Menurut Leech dan Wijana (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:6) pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini walaupun kira-kira dua dasa warsa silamilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis bahwa upaya menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatic, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi.

II.3      Hakikat Pragmatik
Parker (1986:11) mengemukakan pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa secara eksternal atau berdasarkan makna konteks. Berikut penjelasan yang diutarakan oleh Parker. “Pragmatics is distinct from grammer, which is the study of the internal structure or language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate”.
Dari kutipan yang dikemukakan Parker tersebut dapat dijelaskan bahwa kajian pragmatik berbeda dari kajian tata bahasa yang mengkaji tentang struktur internal bahasa, tetapi pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mengkaji tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Kata kunci menurut Parker terletak dari makna yaitu bahasa yang digunakan dalam situasi berkomunikasi. Situasi berkomunikasi yang dimaksud adalah konteks ketika sebuah ujaran digunakan mempengaruhi makna dari ujaran tersebut. Hal yang senada diutarakan oleh Wijaya dan Rohmadi (2011:5), pragmatik merupakan kajian yang menelaah makna wacana ditinjau dari segi konteks. Maksud konteks berhubungan dengan situasi kalimat yang dimaksud terjadi. Misalnya, makna tangan panjang dan baik bila digunakan pada kalimat dengan konteks yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda juga, seperti pada kalimat 1), 2), dan 3) berikut.
1)      Pak Nurman memiliki tangan panjang yang mampu menggapai buah mangga milik mertuanya.
2)      Pak Zico terkenal baik di Desa Plangkian sejak diberhentikan dari Pekerjaannya sebagai akuntan di Bank Bengkulu.
Dari data (1) kata tangan panjang secara internal maknanya menunjukkan “tangan yang berbentuk panjang”. Kata baik pada data (2) secara internal bermakna “sifat yang bagus atau santun”. Akan tetapi, secara eksternal bila dilihat dari penggunannya, kata tangan panjang tidak selalu bermakna “tangan yang berbentuk panjang”. Begitu juga kata baik tidak selalu bermakna “sifat yang bagus atau santun”. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan dialog berikut.
3)      Pak Nurman          : Sepertinya tetangga kita itu, terkenal tangan panjang di desa kita ya Bunda?
Bunda Resa           : Ah, Ayah! Jangan sembarangan kalau bicara. Dia kan tetangga lama kita.
Pak Nurman          : Memang baik sekali pak Samitra! Bayangkan saja Ibu Mertuanya saja kemarin diusir dari rumahnya, hanya gara- gara mau pamit pergi ke pasar loh, bunda.  

Dari dialog (3) tersebut secara eksternal kata panjang tangan memiliki makna “pencuri” bukan orang yang memiliki tangan yang berbentuk panjang. Kemudian, untuk kata baik secara eksternal memiliki makna “kurang baik atau sifat yang buruk” bukan bermakna “sifat baik atau santun”. Dengan demikian, suatu kata bila ditinjau secara pragmatik, suatu kata, frase, klausa, dan kalimat akan mengalami perubahan makna bila konteks pembicaraan dalam komunikasi berbeda. Dengan kata lain, makna yang dikaji dalam pragmatik merupakan makna yang terikat konteks, berbeda halnya dengan semantik yang mengkaji makna yang bebas dengan konteks.
Kajian pagmatik juga diutarakan oleh Leech (1983:13) sebagai salah satu bagian dari ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa yang berintegrasi dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari pendapat Leech ini, kajian pragmatik bekerja mengkaji suatu penggunaan bahasa yang tidak bisa terlepas dari unsur fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Dari beberapa pendapat ahli bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna suatu bahasa ditinjau dari penggunaan bahasa dalam berkomunikasi atau terkait dengan konteks (eksternal) ketika bahasa digunakan dalam berkomunikasi.
Bahasa sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan manasuka sulit untuk diterjemahkan. Begitupun kaum strukturalis mengalami hambatan dalam memaknai bahasa ketika dihadapkan pada suatu konteks. Pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya tahun 1930-an, linguisitk menurut kaum struktural dianggap hanya mencakup fonetik, morfologi, dan fonemik. Kemudian, pada era Bloomfield, kajian sintaksis dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan makna dikesampingkan dalam pencaturan linguistik karena dianggap terlampau sulit untuk diteliti dan dalam proses analisis.
      Pada tahun 1950-an dengan berkembangnya teori linguistik Chomsky, sintaksis telah mendapatkan tempat dalam linguistik. Dalam teorinya, linguistik yang berlatar belakang filsafat mentalis ini menegaskan bahwa sintaksis merupakan bagian dari linguistik yang bersifat sentral. Gagasan kesentralan sintaksis itu kemudian mendatangkan pradigma baru dalam dunia linguistik. Sekalipun linguistik Chomsky dianggap lebih maju disbanding era linguistik sebelumnya, bagi tokoh ini masalah makna masih dianggap sulit untuk dianalisis.
       Pada awal tahun 1970-an, para linguis yang bernuansa transformasi generatif seperti Ross dan Lokoff, menyatakan bahwa kajian sintaksis itu tidak bisa memisahkan diri dengan konteksnya. Sejak saat itu pula lahir sosok baru dalam dunia linguistik yang disebut prgmatik, khususnya untuk linguistik yang berkembang dibelahan bumi Amerika. Dapat dikatakan bahw dengan munculnya tokoh-tokoh itu telah menandai telah runtuhnya hipotesis tentang teori-teori bahasa yang telah berkembang diera-era sebelumnya.
       Istilah pragmatik sebenarnya sudah mulai dikenal sejak masa hidupnya seorang filusufi terkenal bernama Charles Morris. Dalam memunculkan istilah pragmatic, Morris mendasarkan pemikirannya berdasarkan gagasan filusufi-filusufi pendahulunya seperti Charles Shanders Phierce, dan John Lokey yang banyak menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang semasa hidupnya yang biasa dinamai semiotika (semiotics). Dengan berdasarkan pada gagasan filusufi itu, Morris membagi ilmu tanda dan ilmu lambang ke dalam tiga bagian yakni sintaktika (sintaktics) yakni ilmu tentang relasi formal tanda-tanda, semantika (semantics) yakni studi relasi tentang tanda-tanda dengan objeknya, dan pragmatika (pragmatics) yakni studi relasi tentang tanda-tanda dengan penafsirnya. Berawal dari filusufi ternama inilah pragmatik terlahir dan bertengger dalam dunia linguistik.
      Linguistik yang lazimnya disebut sebagai ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia, memiliki beberapa cabang. Cabang-cabang tersebut secara linguistik dapat diurutkan: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dari urutan cabang-cabang linguistik itu, tampak bahwa pragmatik merupakan ilmu linguistik yang paling baru.
       Verhar (1996) menyebutkan bahwa lazimnya fonologi dibicarakan berdampingan dengan fonetik. Sebab keduanya sama-sama meneliti bunyi bahasa. Fonetik meneliti bunyi bahasa berdasarkan pelafalannya dan sifat akustiknya. Sedangkan fonologi meneliti bunyi bahasa berdasarkan fungsinya. Morfologi dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari struktur internal kata, sintaksis mempelajari susunan kata dalam kalimat, semantik mempelajari perihal makna. Sementara itu, pragmatik mempelajari apa saja yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik.
      Berdasarkan latar belakang perkembangan pragmatik dapat disimpulkan bahwa kehadiran pragmatik disebabkan kerena adanya ketidakpuasan terhadap analisis bahasa yang hanya menekankan pada unsusr-unsur formal bahasa saja atau bagian struktur internal. Bahasa dipandang sebagai perwakilan atau perwujudan dari simbol-simbol bahasa. Sementara itu, perwujudan atau simbol-simbol bahasa hadir apabila ada sesuatu yang mendasarinya yang berupa unsur-unsur non kebahasaan. Para penganut strukturalis dalam menganalisis bahasa hanya menekankan pada struktur formal bahasa. Bahasa (kalimat) hanya dikatakan lengkap apabila memuat unsur pembentuknya dalam hal ini subjek (S) dan predikat (P) yang hanya ditandai dari segi aktif, pasif, transitif, intransitif, semitransitif. Sementara itu unsur-unsur yang menyertai kehadiran sebuah kalimat terkadang diabaikan. Para penganut pragmatik berpandangan bahwa bahasa sellu hadir bersamaan dengan konteks. Baik konteks lingual maupun ekstra lingual. Dalam analisis pragmatik, kajian bahasa tidak bias dilakukan tanpa mempertimbangkan kontekks situasi yang meliputi penutur dan mitra tutur, situasi, tujuan pembicaraan, serta dampak atau bentuk-bentuk perubahan yang ditimbulkan akibat tindakan tersebut.























BAB III
PENUTUP

III.1     Kesimpulan
Munculnya istilah pragmatik dapat dihubungkan dengan seorang filsuf yang bernama Charles Morris (1938). Ia sebenarnya mengolah kembali pemikiran para filsuf pendahulunya seperti Locke dan Peirce mengenai semiotik (ilmu tanda dan lambang). Oleh Morris semiotik dibagi menjadi tiga cabang : sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda, semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan obyek, dan pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir. Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda bahasa bukan tanda yang lain.
Di Indonesia konsep pragmatik baru diperkenalkan pertama kali dalam kurikulum bidang studi Bahasa Indonesia (Kurikulum 1984) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila dibandingkan dengan munculnya istilah pragmatik (1938) kita tampaknya jauh ketinggalan dari mereka. Yang penting adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik dalam hubungannya dengan kajian bahasa.
Kajian pragmatik dipilah menjadi dua bagian oleh Leech (1983) yakni pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Kajian pragmalinguistik dekat dengan tradisi Anglo-Amerika, dan sosiopragmatik beririsan dengan kajian pragmatik Kontinental. Tradisi kajian pragmatik Anglo-Amerika digolongkan sebagai kajian linguistik formal, sedangkan tradisi kajian pragmatik Kontinental digolongkan sebagai kajian linguistik fungsional. (Gunarwan, 1996)
Pragmatik tradisi kontinental menjadi latar kajian ini. Dengan pertimbangan bahwa analisis pragmatik ini memiliki jangkauan kajian yang lebih luas dan dalam, yakni mencakup tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, sebagaimana ditunjukkan oleh Schiffrin (1994), Yule (1996), dan Van Dijk (1998; 2000).

III.2     Saran
Melalui Makalah Pragmatik ini kita dapat menggunakan forum diskusi sebagai salah satu bahan referansi kita dalam menerapkan Kajian Pragmatik sebagai salah satu kajian Bahasa yang harus diketahui.
Diharapkan semua peserta forum diskusi dapat mengikuti dan memberikan pendapatnya tentang kajian Pragmatik ini agar forum diskusi ini dapat berjalan lancar dan kita mampu memahami perspektif kajian pragmatik ini.

DAFTAR PUSTAKA


Cummings, Louise. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidispliner (Terj. Adolina Lefaan). Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2011. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis.Surakarta: Yuma Pustaka.
Budi, Jatmiko. 2012. ”Konsep Pragmatik dan Ruang Lingkupnya”, (http://jatmikobudi.blogspot.com/2012/04/konsep-pragmatik-dan-ruang-lingkupnya.html, diakses tanggal 10-3-2013).
Buku “Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia” Karya R. Kunjana Rahardi  (2005) Penerbit Erlangga, Jakarta.
Buku “Pragmatik” Karya Louise Cummings (2007) Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.  
Buku “Pragmatik dan Penelitian Pragmatik” Karya F. X Nadar (2008). Graha Ilmu. Yogyakarta.
Buku “ Pengajaran Pragmatik” Karya Henry Guntur Tarigan (2009). Angkasa Bandung, Bandung.
Buku “Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis” I Dewa Putu Wijaya dan M. Rohmadi (2011) Penerbit Yuma Pustaka, Surakarta.








Share:

0 komentar:

Posting Komentar