BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pragmatik adalah kajian ilmu bahasa tentang hubungan tanda dengan
orang yang menginterpretasikan tanda itu.
Saat ini topik pragmatik sangat dikenal dalam linguistik. Padahal
dahulu pragmatik dianggap tidak penting. Sikap ini berubah ketika pada akhir
tahun 1950an Chomsky menemukan titik pusat sintaksis. Namun sebagai seorang
struktualis ia masih menganggap makna terlalu rumit untuk dipikirkan dengan
sungguh- sungguh. Pada permulaan tahun 1960 Katz dan kawan- kawannya (Katz dan
Fodor, 1963; Katz dan Postal, 1964; Katz, 1964) mulai menemukan cara memasukkan
makna ke dalam teori linguistik formal, dan tidak lama kemudian semangat
“California atau bust” membuat pragmatik masih mencakup. Kemudian pada tahun
1971 lakoff dan lain- lainnya berargumentasi bahwa sintaksis tidak dapat
dipisahkan dari studi penggunaan bahasa. Sejak saat itu pragmatik masuk dalam
peta linguistik. Masuknya pragmatik dalam linguistik merupakan tahap akhir
dalam gelombang ekspansi linguistik, dari sebuah ilmu sempit yang mengurusi
data fisik bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang luas yang meliputi bentuk,
makna dalam konteks. Tetapi, ini tahap perkembangan jalur utama aliran
linguistik di belahan Amerika. Pada 1940-an di belahan Eropa sudah berkembang
kegiatan mengkaji bahasa dengan mempertimbangkan makna dan situasi (aliran
praha, aliran firth) dan pada tahun 1960-an Halliday megembangkan teori social
mengenai bahasa.
II.1 Tujuan
Melalui Makalah ini kita dapat menjelaskan dan mengembangkan pengertian
dari Pragmatik sebagai salah satu bentuk kajian ilmu bahasa untuk dapat
diterapkan dalam menggunakan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Disini
kita akan membahas :
a.
Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya
Pragmatik
b.
Defenisi Pragmatik Menurut Para Ahli
c.
Hakikat Pragmatik.
Diharapkan melalui makalah “Pragmatik” ini kita dapat mengetahui
bagaimana sejarah dan lahirnya Pragmatik sebagai salah satu kajian ilmu tata
bahasa. Selain itu juga kita mampu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pragmatik
itu sendiri berdasarkan kajian / pendapat para ahli. Selanjutnya melalui
makalah Pragmatik ini juga kita mampu menjelaskan hakikat pragmatik sebagai
salah satu kajian ilmu tata bahasa untuk dapat diterapkan melalui penggunaan
Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
BAB II
POKOK BAHASAN
II.1 Sejarah dan Latar
Belakang Lahirnya Pragmatik
Munculnya istilah pragmatik dapat dihubungkan dengan seorang filsuf
yang bernama Charles Morris (1938). Ia sebenarnya mengolah kembali pemikiran
para filsuf pendahulunya seperti Locke dan Peirce mengenai semiotik (ilmu tanda
dan lambang). Oleh Morris semiotik dibagi menjadi tiga cabang : sintaksis,
semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan formal antara
tanda-tanda, semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan obyek, dan
pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir. Tanda-tanda yang
dimaksud di sini adalah tanda bahasa bukan tanda yang lain.
Perubahan linguistik di Amerika pada tahun 1970-an diilhami oleh
karya filsuf-filsuf seperti : Austi (1962) dan Searle (1969), yang melimpahkan
banyak perhatian pada bahasa. Teori mereka mengenai tindak ujaran mempengaruhi
perubahan linguistik dari pengkajian bentuk-bentuk bahasa (yang sudah mapan dan
merata pada tahun 1950-1960-an) ke arah fungsi-fungsi bahasa dan pemakaiannya
dalam komunikasi.
Di Indonesia konsep pragmatik baru diperkenalkan pertama kali dalam
kurikulum bidang studi Bahasa Indonesia (Kurikulum 1984) yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila dibandingkan dengan munculnya
istilah pragmatik (1938) kita tampaknya jauh ketinggalan dari mereka. Yang
penting adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik dalam hubungannya
dengan kajian bahasa.
Perkembangan Pragmatik Dunia
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada
1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap
sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu
tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian
Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang
memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969,
1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap
sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam
karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan
konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi,
perlokusi, dan daya ilokusi tuturan. Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu:
Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang
tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur
yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan
fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif,
komisih, dan deklaratif.
Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama
(cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature).
Menurut Grace, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang membimbing
pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat
menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip ini terdiri atas empat
bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54),
keunggulan teori prinsip kerja sama ini terletak pada potensinya sebagai teori
inferensi apakah yang dapat ditarik dari tuturan yang bidal kerja sama itu. Keenan
(1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda
seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”. Hal ini berdasarkan
penelitian tentang penerapan prinsip kerja sama di masyarakat Malagasi.
Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.
Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.
Fraser (1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak
tutur. Gadzar (1979) membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga
topik, yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis. Gumperz (1982)
mengembangkan teori implikatur Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia
berpendapat bahwa pelanggaran atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal
kuantitas dan cara menyiratkan sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak
diekspresikan itulah yang dinamakan implikatur percakapan. Levinson (1983)
mengemukakan revisi sebagai uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori
implikatur. Leech (1983) mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan
dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan,
kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Mey
(1993) mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: mikropragmatik
dan makropragmatik. Schiffrin (1994) mambahas berbagai kemudian kajian wacana
dengan menggunakan pendekatan pragmatic. Yule (1996) mengembangkan teori
tentang PKS dengan menghubungkannya dengan keberadaan tamengan (hedges) dan tuturan
langsung-tuturan tak langsung. Van Dijk (1998-2000) mengembangkan model
analisis wacana kritis (Critical Discourse Analyses/ CDA) di dalam teks berita.
Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di
dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.
Perkembangan
Pragmatik di Indonesia.
Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika
diberlakukannya Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini
pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia
(Depdikbud, 1984).
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secara umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam.
Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis magisternya.
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secara umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam.
Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis magisternya.
II.2 Defenisi Pragmatik Menurut Para Ahli
Berikut ini adalah berbagai
defenisi Pragmatik menurut para ahli :
a.
Menurut Wijana dan Rohmadi (2011: 4) pragmatik adalah cabang
ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana
satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi.
b.
Menurut Leech (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011: 5) pragmatik
sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi dengan
tatabahasa yang terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik
melalui semantik.
c.
Menurut Cruse (dalam Cummings, 2007: 2) pragmatik dapat
dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam
pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensiyang
diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang
(b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang
dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan
bentuk-bentuk tersebut (penekanan ditambahkan).
d. Parker (1986:11) mengemukakan
pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa secara
eksternal atau berdasarkan makna konteks. Berikut penjelasan yang diutarakan
oleh Parker.
“Pragmatics is distinct from
grammer, which is the study of the internal structure or language. Pragmatics
is the study of how language is used to communicate”.
e.
Menurut Leech dan Wijana (dalam
Wijana dan Rohmadi, 2011:6) pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin
dikenal pada masa sekarang ini walaupun kira-kira dua dasa warsa silamilmu ini
jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini
dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis bahwa upaya menguak hakikat bahasa
tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap
pragmatic, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi.
II.3 Hakikat Pragmatik
Parker (1986:11) mengemukakan pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu
bahasa yang mempelajari bahasa secara eksternal atau berdasarkan makna konteks.
Berikut penjelasan yang diutarakan oleh Parker. “Pragmatics is distinct from
grammer, which is the study of the internal structure or language. Pragmatics
is the study of how language is used to communicate”.
Dari kutipan yang dikemukakan Parker tersebut dapat dijelaskan bahwa kajian
pragmatik berbeda dari kajian tata bahasa yang mengkaji tentang struktur internal bahasa, tetapi pragmatik merupakan ilmu bahasa yang
mengkaji tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Kata kunci menurut Parker
terletak dari makna yaitu bahasa yang digunakan dalam situasi berkomunikasi.
Situasi berkomunikasi yang dimaksud adalah konteks ketika sebuah ujaran
digunakan mempengaruhi makna dari ujaran tersebut. Hal yang senada diutarakan
oleh Wijaya dan Rohmadi (2011:5), pragmatik merupakan kajian yang menelaah
makna wacana ditinjau dari segi konteks. Maksud konteks berhubungan dengan
situasi kalimat yang dimaksud terjadi. Misalnya, makna tangan
panjang dan baik bila digunakan pada kalimat dengan
konteks yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda juga, seperti pada
kalimat 1), 2), dan 3) berikut.
1) Pak Nurman memiliki tangan panjang yang
mampu menggapai buah mangga milik mertuanya.
2) Pak Zico terkenal baik di
Desa Plangkian sejak diberhentikan dari Pekerjaannya sebagai akuntan di Bank
Bengkulu.
Dari data (1) kata tangan
panjang secara internal maknanya menunjukkan “tangan yang berbentuk
panjang”. Kata baik pada data (2) secara internal bermakna
“sifat yang bagus atau santun”. Akan tetapi, secara eksternal bila dilihat dari
penggunannya, kata tangan panjang tidak selalu bermakna
“tangan yang berbentuk panjang”. Begitu juga kata baik tidak
selalu bermakna “sifat yang bagus atau santun”. Hal ini dapat kita lihat dalam
kutipan dialog berikut.
3) Pak
Nurman : Sepertinya
tetangga kita itu, terkenal tangan panjang di desa kita ya
Bunda?
Bunda
Resa : Ah,
Ayah! Jangan sembarangan kalau bicara. Dia kan tetangga lama kita.
Pak Nurman :
Memang baik sekali pak Samitra! Bayangkan saja Ibu Mertuanya
saja kemarin diusir dari rumahnya, hanya gara- gara mau pamit pergi ke pasar
loh, bunda.
Dari dialog (3) tersebut secara eksternal kata panjang tangan memiliki
makna “pencuri” bukan orang yang memiliki tangan yang berbentuk panjang.
Kemudian, untuk kata baik secara eksternal memiliki makna
“kurang baik atau sifat yang buruk” bukan bermakna “sifat baik atau santun”.
Dengan demikian, suatu kata bila ditinjau secara pragmatik, suatu kata, frase,
klausa, dan kalimat akan mengalami perubahan makna bila konteks pembicaraan
dalam komunikasi berbeda. Dengan kata lain, makna yang dikaji dalam pragmatik
merupakan makna yang terikat konteks, berbeda halnya dengan semantik yang
mengkaji makna yang bebas dengan konteks.
Kajian pagmatik juga diutarakan oleh Leech (1983:13) sebagai salah satu
bagian dari ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa yang berintegrasi
dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari pendapat Leech ini,
kajian pragmatik bekerja mengkaji suatu penggunaan bahasa yang tidak bisa
terlepas dari unsur fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Dari beberapa pendapat ahli bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna suatu
bahasa ditinjau dari penggunaan bahasa dalam berkomunikasi atau terkait dengan
konteks (eksternal) ketika bahasa digunakan dalam berkomunikasi.
Bahasa sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan manasuka sulit untuk
diterjemahkan. Begitupun kaum strukturalis mengalami hambatan dalam memaknai
bahasa ketika dihadapkan pada suatu konteks. Pada tahun-tahun sebelumnya,
khususnya tahun 1930-an, linguisitk menurut kaum struktural dianggap hanya
mencakup fonetik, morfologi, dan fonemik. Kemudian, pada era Bloomfield, kajian
sintaksis dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan makna dikesampingkan
dalam pencaturan linguistik karena dianggap terlampau sulit untuk diteliti dan
dalam proses analisis.
Pada tahun 1950-an dengan berkembangnya
teori linguistik Chomsky, sintaksis telah mendapatkan tempat dalam linguistik.
Dalam teorinya, linguistik yang berlatar belakang filsafat mentalis ini
menegaskan bahwa sintaksis merupakan bagian dari linguistik yang bersifat
sentral. Gagasan kesentralan sintaksis itu kemudian mendatangkan pradigma baru
dalam dunia linguistik. Sekalipun linguistik Chomsky dianggap lebih maju
disbanding era linguistik sebelumnya, bagi tokoh ini masalah makna masih
dianggap sulit untuk dianalisis.
Pada awal tahun 1970-an, para linguis
yang bernuansa transformasi generatif seperti Ross dan Lokoff, menyatakan bahwa
kajian sintaksis itu tidak bisa memisahkan diri dengan konteksnya. Sejak saat
itu pula lahir sosok baru dalam dunia linguistik yang disebut prgmatik,
khususnya untuk linguistik yang berkembang dibelahan bumi Amerika. Dapat
dikatakan bahw dengan munculnya tokoh-tokoh itu telah menandai telah runtuhnya
hipotesis tentang teori-teori bahasa yang telah berkembang diera-era
sebelumnya.
Istilah pragmatik sebenarnya sudah
mulai dikenal sejak masa hidupnya seorang filusufi terkenal bernama Charles
Morris. Dalam memunculkan istilah pragmatic, Morris mendasarkan pemikirannya
berdasarkan gagasan filusufi-filusufi pendahulunya seperti Charles Shanders
Phierce, dan John Lokey yang banyak menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang
semasa hidupnya yang biasa dinamai semiotika (semiotics). Dengan berdasarkan
pada gagasan filusufi itu, Morris membagi ilmu tanda dan ilmu lambang ke dalam
tiga bagian yakni sintaktika (sintaktics) yakni ilmu tentang relasi formal
tanda-tanda, semantika (semantics) yakni studi relasi tentang tanda-tanda
dengan objeknya, dan pragmatika (pragmatics) yakni studi relasi tentang
tanda-tanda dengan penafsirnya. Berawal dari filusufi ternama inilah pragmatik
terlahir dan bertengger dalam dunia linguistik.
Linguistik yang lazimnya disebut sebagai
ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia, memiliki beberapa
cabang. Cabang-cabang tersebut secara linguistik dapat diurutkan: fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dari urutan cabang-cabang
linguistik itu, tampak bahwa pragmatik merupakan ilmu linguistik yang paling
baru.
Verhar (1996) menyebutkan bahwa
lazimnya fonologi dibicarakan berdampingan dengan fonetik. Sebab keduanya
sama-sama meneliti bunyi bahasa. Fonetik meneliti bunyi bahasa berdasarkan
pelafalannya dan sifat akustiknya. Sedangkan fonologi meneliti bunyi bahasa
berdasarkan fungsinya. Morfologi dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari
struktur internal kata, sintaksis mempelajari susunan kata dalam kalimat, semantik
mempelajari perihal makna. Sementara itu, pragmatik mempelajari apa saja yang
termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur
serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik.
Berdasarkan latar belakang perkembangan
pragmatik dapat disimpulkan bahwa kehadiran pragmatik disebabkan kerena adanya
ketidakpuasan terhadap analisis bahasa yang hanya menekankan pada unsusr-unsur
formal bahasa saja atau bagian struktur internal. Bahasa dipandang sebagai
perwakilan atau perwujudan dari simbol-simbol bahasa. Sementara itu, perwujudan
atau simbol-simbol bahasa hadir apabila ada sesuatu yang mendasarinya yang
berupa unsur-unsur non kebahasaan. Para penganut strukturalis dalam
menganalisis bahasa hanya menekankan pada struktur formal bahasa. Bahasa
(kalimat) hanya dikatakan lengkap apabila memuat unsur pembentuknya dalam hal
ini subjek (S) dan predikat (P) yang hanya ditandai dari segi aktif, pasif,
transitif, intransitif, semitransitif. Sementara itu unsur-unsur yang menyertai
kehadiran sebuah kalimat terkadang diabaikan. Para penganut pragmatik
berpandangan bahwa bahasa sellu hadir bersamaan dengan konteks. Baik konteks
lingual maupun ekstra lingual. Dalam analisis pragmatik, kajian bahasa tidak
bias dilakukan tanpa mempertimbangkan kontekks situasi yang meliputi penutur
dan mitra tutur, situasi, tujuan pembicaraan, serta dampak atau bentuk-bentuk
perubahan yang ditimbulkan akibat tindakan tersebut.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Munculnya istilah pragmatik dapat dihubungkan dengan seorang filsuf
yang bernama Charles Morris (1938). Ia sebenarnya mengolah kembali pemikiran
para filsuf pendahulunya seperti Locke dan Peirce mengenai semiotik (ilmu tanda
dan lambang). Oleh Morris semiotik dibagi menjadi tiga cabang : sintaksis,
semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan formal antara
tanda-tanda, semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan obyek, dan
pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir. Tanda-tanda yang
dimaksud di sini adalah tanda bahasa bukan tanda yang lain.
Di Indonesia konsep pragmatik baru diperkenalkan pertama kali dalam
kurikulum bidang studi Bahasa Indonesia (Kurikulum 1984) yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila dibandingkan dengan munculnya
istilah pragmatik (1938) kita tampaknya jauh ketinggalan dari mereka. Yang
penting adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik dalam hubungannya
dengan kajian bahasa.
Kajian pragmatik dipilah menjadi dua bagian oleh Leech (1983) yakni
pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Kajian pragmalinguistik dekat dengan
tradisi Anglo-Amerika, dan sosiopragmatik beririsan dengan kajian pragmatik
Kontinental. Tradisi kajian pragmatik Anglo-Amerika digolongkan sebagai kajian
linguistik formal, sedangkan tradisi kajian pragmatik Kontinental digolongkan
sebagai kajian linguistik fungsional. (Gunarwan, 1996)
Pragmatik tradisi kontinental menjadi latar kajian ini. Dengan pertimbangan bahwa analisis pragmatik ini memiliki jangkauan kajian yang lebih luas dan dalam, yakni mencakup tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, sebagaimana ditunjukkan oleh Schiffrin (1994), Yule (1996), dan Van Dijk (1998; 2000).
Pragmatik tradisi kontinental menjadi latar kajian ini. Dengan pertimbangan bahwa analisis pragmatik ini memiliki jangkauan kajian yang lebih luas dan dalam, yakni mencakup tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, sebagaimana ditunjukkan oleh Schiffrin (1994), Yule (1996), dan Van Dijk (1998; 2000).
III.2 Saran
Melalui Makalah Pragmatik ini kita dapat menggunakan forum diskusi
sebagai salah satu bahan referansi kita dalam menerapkan Kajian Pragmatik
sebagai salah satu kajian Bahasa yang harus diketahui.
Diharapkan semua peserta forum diskusi dapat mengikuti dan
memberikan pendapatnya tentang kajian Pragmatik ini agar forum diskusi ini
dapat berjalan lancar dan kita mampu memahami perspektif kajian pragmatik ini.
DAFTAR PUSTAKA
Cummings,
Louise. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidispliner (Terj. Adolina
Lefaan). Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Wijana, I Dewa
Putu dan Muhammad Rohmadi. 2011. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori
dan Analisis.Surakarta: Yuma Pustaka.
Budi, Jatmiko.
2012. ”Konsep Pragmatik dan Ruang Lingkupnya”,
(http://jatmikobudi.blogspot.com/2012/04/konsep-pragmatik-dan-ruang-lingkupnya.html,
diakses tanggal 10-3-2013).
Buku “Pragmatik:
Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia” Karya R. Kunjana
Rahardi (2005) Penerbit Erlangga, Jakarta.
Buku “Pragmatik”
Karya Louise Cummings (2007) Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Buku “Pragmatik
dan Penelitian Pragmatik” Karya F. X Nadar (2008). Graha Ilmu. Yogyakarta.
Buku “ Pengajaran
Pragmatik” Karya Henry Guntur Tarigan (2009). Angkasa Bandung, Bandung.
Buku “Analisis
Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis” I Dewa Putu Wijaya dan M.
Rohmadi (2011) Penerbit Yuma Pustaka, Surakarta.
0 komentar:
Posting Komentar