Jumat, 30 Desember 2016

Makalah Wacana Puisi



BAB  I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Dalam perkembangannya, dari segi bentuk dan panjangnya cerpen merupakan karya sastra yang paling cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan media bukan sastra, misalnya koran. Entah berapa ratus cerpen terpublikasikan di media pada setiap bulannya, sebab hampir semua majalah hiburan dan surat kabar umum yang memiliki edisi minggu menyediakan rubrik khusus cerpen.
Cerpen sebagai suatu karya sastra yang relatif pendek, dengan hanya beberapa halaman, dengan kalimat-kalimat realis yang sederhana, terbukti sanggup membuktikan kosmos suatu kondisi dengan tampilan yang utuh. Dengan kecenderungan untuk tidak berkhotbah, cerpen dengan cukup sarat pasi mampu menggambarkan bahwa konflik dengan kekuatan eksternal, yakni pada sosiokultural sebuah kampung pada masa transisi dapat dibangun dengan sempurna. Begitu pula konflik internal yang dibangun pada unsur-unsur kohesif yang membentuk wacana cerpen, lewat penggambaran tokoh, adegan, dialog-dialog yang diucapkan para tokoh, pun ternyata mampu membangun suatu kesatuan yang padu.
Dalam tulisan ini akan dianalisis aspek sosial budaya serta penanda kohesi baik gramatikal maupun leksikal, pada sebuah cerpen karya Harris Effendi Thahar yang berjudul ”Dari Paris”. Cerpen ini termasuk di dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1994 yang berjudul Lampor.
Cerpen ini menggambarkan tentang bias-bias perubahan zaman, dan peran keluarga sebagai pemersatu kerukunan telah menjadi ilusi semata. Harris Effendi Thahar dengan cerdas mampu menggambarkan hilangnya ikatan batin sebuah keluarga. Cerpen ”Dari Paris” dibangun dengan alur maju yang rapat dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dicerna oleh siapa saja. Dengan daya cerita yang mengalir dan gaya ungkap yang tidak menggurui, mengakibatkan pembaca tertarik untuk membaca lebih jauh, mengerti akhir ceritanya, dan memahami maknanya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Apakah hakikat wacana ?
b.      Apakah hakikat analisis wacana?
c.       Bagaimana Model Analisis Wacana Drama?
d.      Bagaimanakah deskripsi situasi dan konteks sosial budaya telah membangun cerpen ”Dari Paris”?
e.       Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal maupun leksikal dalam cerpen ”Dari Paris”?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wacana Bahasa Indonesia
Istilah wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Kata wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pembahasan wacana berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan berbahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Wacana berkaitan dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang berkaitan dengan proses komunikasi seperti interaksi sosial (konversasi dan pertukaran) dan pengembangan tema (monolog dan paragraf). Realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktur bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna).
Istilah Wacana secara etimologi, “wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, maka kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujaran’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul dibelakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karangan Wojowasito (1989:651), terdapat kata waca yang berarti ‘baca’, kata u/amaca yang artinya ‘membaca’, pamacan (pembacaan), ang/mawacana (berkata), wacaka (mengucapkan), dan wacana yang artinya ‘perkataan’. Kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks kalimat bahasa Jawa Kuno berikut: “Nahan wuwus sang tapa sama madhura wacana dhara” (Demikian sabda sang pandita, ramah sikap dan perkataananya).
Wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau dialog lengkap dan penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.

B.     Struktur Wacana Bahasa Indonesia
Wacana merupakan medium komunikasi verbal yang bisa diasumsikan dengan adanya penyapa (pembicara dan penulis) dan pesapa (penyimak dan pembaca).
1.      Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diperoleh ciri atau karakterisitik sebuah wacana. Ciri-ciri wacana adalah sebagai berikut :
·         Satuan gramatikal
·         Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
·         Untaian kalimat-kalimat
·         Memiliki hubungan proposisi
·         Memiliki hubungan kontinuitas, berkesinambungan
·         Memiliki hubungan koherensi
·         Memiliki hubungan kohesi
·         Rekaman kebahasaan utuh dari peristiwa komunikasi
Bisa transaksional juga interaksional
·         Medium bisa lisan maupun tulis
·         Sesuai dengan konteks
·         Syamsuddin (1992:5) menjelaskan ciri dan sifat sebuah wacana sebagai berikut.
·         Wacana dapat berupa rangkaian kalimat ujar secara lisan dan tulis atau rangkaian tindak tutur
·         Wacana mengungkap suatu hal (subjek)
·         Penyajian teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan semua situasi pendukungnya
·         Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu
·         Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental
2.      Unsur Pembentuk Wacana
Wacana berkaitan dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang berkaitan dengan proses komunikasi seperti interaksi sosial (konversasi dan pertukaran) dan pengembangan tema (monolog dan paragraf).
3.      Konteks dan Ko-teks
Wacana merupakan bangunan semantis yang terbentuk dari hubungan semantis antarsatuan bahasa secara padu dan terikat pada konteks. Ada bermacam-macam konteks dalam wacana. Wacana lisan merupakan kesatuan bahasa yang terikat dengan konteks situasi penuturnya. Konteks bagi bahasa (kalimat) dalam wacana tulis adalah kalimat lain yang sebelum dan sesudahnya, yang sering disebut ko-teks.
4.      Teks
Fairdough (dalam Eriyanto, 2008:289) melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan. Setiap teks pada dasarnya, menurut Firdough dapat diuraikan dan dianalisis dari ketiga unsur tersebut.

C.    Jenis-Jenis Wacana Bahasa Indonesia
Pengelompokan wacana bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi dikenal ada wacana monolog, dialog dan poligon. Sedangkan dilihat dari tujuan komunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi. Sedangkan dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana lisan dan tulisan. Berikut, penjelasan mengenai jenis-jenis atau ragam wacana yang telah disebutkan tadi.


1.      Jenis wacana dilihat berdasarkan jumlah peserta
Dalam wacana ini yang terlibat pembicaraan dalam berkomunikasi. Ada tiga jenis wacana berdasarkan wacana jumlah peserta yang ikut ambil bagian sebagai pembicaraan, yaitu monolog, dialog, dan polilog.
·         Wacana Monolog
Pada wacana monolog, pendengar tidak memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan pembicara. Pembicara mempunyai kebebasan untuk menggunakan waktunya, tanpa diselingi oleh mitra tuturnya. Contoh dari wacana monolog adalah ceramah, pidato.
·         Wacana Dialog
Kemudian, apabila peserta dalam komunikasi itu ada dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicaraan menjadi pendengar atau sebaliknya), wacana yang dibentuknya disebut dialog. Contoh dari wacana dialog, adalah antara dua orang yang sedang mengadakan perbincangan di sekolah. Situasinya bisa resmi dan tidak resmi.
·         Wacana Polilog
Adapun apabila peserta dalam komunikasi itu lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, wacana yang dihasilkan disebut polilog. Contohnya adalah perbincangan antara beberapa orang dan mereka memiliki peran pembicaraan dan pendengar. Situasinya pun bisa resmi dan tidak resmi.
2.      Jenis wacana ditinjau dari tujuan berkomunikasi
Wacana berdasarkan tujuan berkomunikasi, diantaranya wacana argumentasi, persuasi, eksposisi, deskripsi, dan narasi. Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan kelima wacana tersebut.
·         Wacana Argumentasi
Karangan argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logis dan emosional (Rottenberg, 1988:9). Argumentasi adalah semacam bentuk wacana yang berusaha membuktikan suatu kebenaran. Lebih jauh sebuah argumentasi berusaha mempengaruhi serta mengubah sikap dan pendapat orang lain untuk menerima suatu kebenaran dengan mengajukan bukti-bukti mengenai objek yang diargumentasikan itu. (Gorys Keraf, 1995:10) dilihat dari sudut proses berfikir adalah suatu tindakan untuk membentuk penalaran dan menurunkan kesimpulan. Contoh wacana argumentasi adalah :
Namun, yang menjadi kekawatiran adalah adanya efek negatif akibat dosis vitamin dan mineral yang dikonsumsi secara berlebihan, terutama oleh mereka yang memiliki kondisi tubuh yang sehat. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa multivitamin tidak terbukti dapat mencegah timbulnya suatu penyakit dan suplemen vitamin juga tiadak bisa memperbaiki gizi yang buruk akibat pola makan yang sembarangan. Bahkan meminum jenis vitamin dan mineral dalam dosis tinggi dalam jangka waktu panjang bisa memicu resiko timbulnya penyakit tertentu. (Reader’s Digest Indonesia, Oktober 2004).
·         Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar bersangkutan memahaminya. Eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca. Wacana ini digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu objek, misalnya menjelaskan pengertian kebudayaan, komunikasi, perkebangan teknologi, pertumbuhan ekonomi kepada pembaca.
Wacana ini juga menyajikan penjelasan yang akurat dan padu mengenai topik-topik yang rumit, seperti struktur negara atau pemerintahan, teori tentang timbulnya suatu penyakit. Ia juga digunakan untuk menjelaskan terjadinya sesuatu, beroprasinya sebuah alat dan sebagainya.
Agar diperoleh hasil maksimal, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.             Sebelum melakukan pemutihan gigi, pasien perlu terlebih dahulu didiagnosis kondisi giginya, seperti enamel gigi harus bagus karena proses pemutihan berlangsung pada enamel gigi.
2.             Selain itu juga diperhatikan apakah gigi tersebut masih aktif atau tidak.
3.             Setelah melakukan pembersihan gigi, baru dokter akan mengarahkan untuk memilih produk yang sesuai untuk dipakai (“Tampilkan Gigi Putih Berseri”, Majalah Dewi No.5/XIII).
·         Wacana Persuasi
Wacana persuasi adalah wacana yang bertujuan mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan perbuatan sesuai yang diharapkan penuturnya. Untuk mempengaruhi pembacanya, biasanya digunakan segala daya upaya yang membuat mitra tutur terpengaruh. Untuk mencapai tujuan tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional. Persuasi sesungguhnya merupakan penyimpangan dari argumentasi, dan khusus berusaha mempengaruhi orang lain atau para pembaca. Agar pendengar atau pembaca melakukan sesuatu bagi orang yang mengadakan persuasi, walaupun yang dipersuasi sebenarnya tidak terlalu percaya akan apa yang dikatakannya itu. Persuasi lebih mengutamakan untuk menggunakan atau memanfaatkan aspek-aspek pesikologis untuk mempengaruhi orang lain. Jenis wacana persuasi yang paling sering kita temui adalah kampanye dan iklan. Contoh wacana iklan sebagai berikut : “pakai Daia, lupakan yang lain. Dengan harga yang semurah ini, membersihkan tumpukan pakaian kotor Anda, menjadi lebih bersih cemerlang”.
·         Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi adalah bentuk wacana yang berusaha menyajikan suatu objek atau suatu hal sedemikian rupa sehingga objek itu, sepertinya dapat dilihat, dibayangkan oleh pembaca, seakan-akan pembaca dapar melihat sendiri. Deskripsi memiliki fungsi membuat para pembacanya seolah melihat barang-barang atau objeknya. Sebuah diskripsi mengenai rumah diharapkan menyajikan banyak penampilan individu dan karakteristik dari rumah itu, dan beberapa aspek yang dapat dianalisis, seperti besarnya, materi konstruksinya, dan rancangan arsitekturnya.
Secara singkat deskripsi bertujuan membuat para pembaca menyadari apa yang diserap penulis melalui panca indranya, merangsang perasaan pembaca mengenai apa yang digambarkan, menyajikan suatu kualitas pengalaman langsung. Objek yang dideskripsikan mungkin sesuatu yang bisa ditangkap dengan panca indra kita, sebuah hamparan sawah yang hijau dan pemandangan yang indah, jalan-jalan kota, tikus-tikus selokan, wajah seorang yang cantik molek atau seseorang yang bersedih hati, alunan musik atau gelegar guntur dan sebagainya. Contoh :
Pada jeram pertama perahu besar berbalik arah, lalu memasuki jeram ketiga dengan bagian buritan terlebih dahulu, sampai akhirnya… brak! Perahu menghantam batu besar seukuran 4 x 3 meter, dan menempel pada batu dalam keadaan miring. (“Jeram Maut,” Reader’s Digest Indonesia¸Oktober 2004).
·         Wacana Narasi
Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Pada wacana narasi terdapat unsur-unsur cerita yang penting, seperti waktu, pelaku, peristiwa. Adanya aspek emosi yang dirasakan oleh pembaca atau penerima. Melalui narasi, pembaca atau penerima pesan dapat membentuk citra atau imajinasi. Contoh wacana narasi:
Sewaktu aku duduk di ruang pengadilan yang penuh sesak itu, menunggu perkaraku disidangkan, dalam hatiku bertanya-tanya berapa banyak orang-orang hari ini di sini yang merasa, seperti apa yang kurasakan bingung, patah hati, dan sangat kesepian. Aku merasa seolah-olah aku memikul beban berat seluruh dunia di pundaku.
3.      Jenis wacana dilihat dari bentuk saluran yang digunakan
Saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, bisa dibedakan menjadi wacana lisan dan wacana tulisan. Wacana tulisan adalah rangkaian kalimat yang ditranskripkan dari rekaman bahasa lisan. Adapun wacana tulis adalah teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam tulis. Adapun contoh wacana lisan, misalnya percakapan, khotbah (spontan), dan siaran langsung di radio atau TV. Sedangkan wacana tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel, makalah.

D.    Memahami Model Wacana Cerpen “Dari Paris” Oleh Efendi Thahar
Cerpen ”Dari Paris” ditulis oleh Harris Effendi Thahar, lelaki kelahiran Tembilahan, Riau 4 Januari 1950 dari keluarga perantau Minang. Harris Effendi Thahar termasuk pengarang yang produktif. Di dalam karya-karyanya ia banyak memotret realitas sosial yang terjadi di perkotaan. Karya-karyanya yang telah terbit diantaranya adalah Lagu Sederhana Merdeka, Bendera Kertas dan Daun Jati, Si Padang, dan lain-lain.
Cerpen merupakan media yang efektif untuk mengungkapkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan cerita yang menarik, tahap-tahap ketegangan cerita, didukung dengan penciptaan karakter tokoh yang bervariasi, menjadikan cerpen sebagai pilihan untuk itu. Berbeda dengan pidato atau khotbah yang lebih terkesan menggurui, di dalam cerpen pembaca lebih dihadapkan pada suatu fenomena dan akhirnya pembaca sendirilah yang akan mengambil makna dan nilai-nilai di dalamnya, untuk kemudian dijadikan sebagai perenungan, refleksi, dan juga kontrol sosial.
Pada cerpen ”Dari Paris”, pengarang mencoba memotret tentang perubahan sosial yang terjadi di Padang, Sumatra. Bagaimana disebabkan tuntutan zaman yang serba modern, menjadikan seorang anak tidak lagi sempat untuk mengunjungi orang tuanya di sebuah kampung yang sedang dalam masa transisi menuju ke perkotaan. Akhirnya terciptalah sebuah drama melo ketika sang anak akhirnya menyadari kesalahannya justeru di saat sang ayah meninggal dunia, meninggalkan buku tabungan yang sebenarnya merupakan kiriman dari sang anak setiap bulannya. Namun, oleh sang ayah sepeserpun uang itu tak pernah dibelanjakannya.
Kebahagiaan memang tak dapat dinilai dengan apa pun, itulah kira-kira pesan yang coba diselipkan oleh pengarang. Selain daripada pesan-pesan moral yang lain, seperti  kewajiban seorang anak untuk memperhatikan orang tuanya, dan juga seperti layaknya di kampung, sosialisasi menjadi hal yang sangat dijaga. Dan sebagaimana biasanya, warung dan masjidlah yang menjadi tempat sosialisasi yang pas.
Analisis aspek gramatikal dalam wacana meliputi: pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan konjungsi.  Berikut ini adalah pemaparan aspek-aspek gramatikal yang dijumpai dalam cerpen ”Dari Paris”.
1.         Referensi/pengacuan
·           Pengacuan Persona
Pengacuan persona yang terdapat dalam cerpen ”Dari Paris” meliputi pronomina persona pertama tunggal, pronomina persona pertama jamak, pronomina persona kedua tunggal, dan pronomina persona ketiga tunggal. Adapun sifat pengacuan yang ada adalah endoforis yang dapat dilihat dari data berikut:
a.       ”Anak saya Kadir tidak pernah kirim wesel. Ia hanya nitip sama orang yang pulang kampung.”
b.      ”Kau lihat bagaimana aku dulu menyekolahkan anak-anakku? Pulang mengajar, aku harus berkebun sayur dan pisang. Malah pisang-pisangku sempat diijon orang agar aku cepat dapat uang belanja sekolah anak-anakku.”
c.       ”Anak-anak Engku Guru tidak ada yang susah-susah cari uang seperti anak-anak kami kebanyakan orang kampung kita ini.”
d.      Kau lihat bagaimana aku dulu menyekolahkan anak-anakku?”
e.       ”Ya, ya. Untung ibumu tidak merantau pula.”
f.       ”Emangnya Kadir anakmu itu kerja apa di Jakarta?”
g.      Suatu hari orang tua pensiunan itu menerima wesel dari Alwi, anak lelakinya satu-satunya. Ia sangat gembira.
h.      Sebenarnya ia, Pak Kasim, lelaki pensiunan guru itu kecewa.
Pada data a) terdapat pengacuan persona pertama tunggal bentuk bebas saya yang mengacu pada Tan Marajo. Sedangkan aku (bentuk bebas) dan ku (persona pertama tunggal bentuk terikat) pada data b) mengacu pada Pak Kasim, tokoh utama dalam cerita. Persona pertama jamak terdapat pada data c) yakni pada kata kami dan kita. Kata kami merupakan pronomina persona pertama jamak yang bersifat eksklusif, dalam mengacu pada Tan Marajo bersama warga kampung kebanyakan, tidak termasuk Pak Kasim sebagai mitra tutur. Sedangkan kita merupakan pronomina persona jamak yang bersifat inklusif, artinya mengacu juga pada lawan bicara.
Pengacuan persona kedua tunggal bentuk bebas kau terdapat pada data d) yang mengacu pada Tan Marajo. Adapun pengacuan persona kedua bentuk terikat lekat kanan terdapat pada data e) dan f) –mu yang mengacu pada putri Anis pada e) dan Tan Marajo pada f). Dalam cerpen ini tidak terdapat pengacuan persona kedua tunggal terikat lekat kiri.
Pengacuan persona ketiga tunggal bentuk bebas ia terdapat pada g) dan h) yang mengacu pada Pak Kasim. Terdapat pula pengacuan persona ketiga tunggal bentuk terikat lekat kanan pada g) yang mengacu pula pada Pak Kasim.
Berdasarkan posisi anteseden, pada data g) terdapat anafora pada kalimat Alwi, anak lelakinya satu-satunya, yakni konstituen yang diacu berada di sebelah kiri konstituen pengacu, atau konstituen yang diacu disebutkan terlebih dahulu. Sedangkan pada data h) terdapat katafora, kebalikan dari anafora, konstituen yang diacu berada di sebelah kanan konstituen pengacu. Ini terdapat pada kalimat sebenarnya ia, Pak Kasim, lelaki pensiunan guru itu kecewa.
·           Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua yakni pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Demonstratif waktu terdiri atas waktu sekarang, lampau, akan datang, dan waktu netral. Demonstratif tempat terdiri dari tempat dekat, agak dekat, dan jauh. Pada cerpen ”Dari Paris” terdapat demonstratif waktu dan tempat seperti pada data berikut ini.
a.       Beberapa bulan sebelum wesel itu datang, ia menerima potret keluarga Alwi di Amerika. Alwi dan keluarganya hampir dua tahun menetap di sana disekolahkan perusahaan tempat ia bekerja. Kini ia telah pulang ke tanah air, tetapi tidak sempat pulang ke kampung menjenguk ayahnya.
b.      Dulu jalan itu memang jalan kampung berkerikil dan berlubang-lubang, kendaraan tidak terlalu banyak. Sekarang setelah menjadi bagian dari pinggiran kota, jalan itu menjadi mulus dan besar.
Pada data a) terdapat penanda demonstratif lokasional jauh di sana, dan demonstratif temporal waktu sekarang kini. Sedangkan pada data b) demonstratif lokasional determinator jarak netral, tidak jauh dan tidak dekat terdapat pada jalan itu, sedangkan demonstratif temporal pada waktu lampau terdapat pada kata dulu, waktu sekarang pada kata sekarang.
Komparatif
Salah satu bentuk kohesi gramatikal adalah komparatif yaitu membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Pada cerpen ”Dari Paris” terdapat komparatif sebagai berikut.
a.       Memang menantunya inilah yang selalu mendengarkan apa-apa yang dibicarakannya. Bahkan menantunya inilah sekarang yang bertindak seolah-olah anak laki-lakinya.
b.      Lalu ia dikejutkan oleh sentuhan tangan cucu perempuan yang paling disayanginya, putri Anis, anak bungsunya yang setia tinggal bersamanya di rumah orang tua itu.
c.       Badannya serasa kapas, terombang-ambing dibawa angin sejuk yang aneh.
Pada data a) satuan lingual seolah-olah membandingkan sosok menantu Pak Kasim sebagai anak lelakinya, Alwi. Adapun b) satuan lingual yang paling menunjukkan komparatif pada tingkat superlatif. Di dalamnya diperbandingkan rasa sayang yang tercurah dari Pak Kasim terhadap cucu-cucunya, dan dari sekian banyak cucunya yang paling disayangi Pak Kasim adalah putri Anis. Sedangkan satuan lingual serasa pada c) membandingkan badan Pak Kasim sebagai kapas yang sangat ringan dan dapat terombang-ambing oleh angin sejuk yang bertiup.
Analisis Leksikal
Kepaduan wacana selain didukung oleh aspek gramatikal atau kohesi gramatikal juga didukung oleh kohesi leksikal. Aspek leksikal adalah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis.
Analisis aspek leksikal dalam wacana meliputi: Reiterasi dan Kolokasi. Berikut ini adalah pemaparan aspek-aspek leksikal yang dijumpai dalam cerpen ”Dari Paris”.



Berikut ini cerpen "Dari Paris" karya Harris Effendy Thahar

Dari Paris

Suatu hari orang tua pensiunan itu menerima wesel dari Alwi, anak lelakinya satu-satunya. Ia amat gembira. Saking gembiranya, lama sekali wesel itu tidak ditukarkanya di kantor pos. Wesel itu dikantunginya berminggu-minggu sampai-sampai orang-orang di warung kopi Jalil tempatnya mangkal sore-sore sudah tahu semua. Orang-orang kagum, karena jumlah uang yang dikirimkan anaknya itu sangat banyak. Padahal, lelaki tua itu tidak membutuhkan uang sebanyak itu. Ia punya cukup uang pensiun. Istrinya sudah lama meninggal. Anak perempuannya yang sulung sudah lama bermukim di Arab bersama suami dan anak-anaknya. Anak perempuannya yang bungsu menjadi guru SD dan suami anak bungsunya menjadi guru SMP di kampung itu. Semua berjalan baik-baik saja. Tiap panen hampir tak ada yang gagal.
Beberapa bulan sebelum wesel itu datang, ia menerima potret keluarga Alwi di Amerika. Alwi dan keluarganya hampir dua tahun menetap di sana disekolahkan perusahaan tempat ia bekerja. Kini ia telah pulang ke tanah air, tetapi tidak sempat pulang ke kampung menjenguk ayahnya karena Alwi segera menduduki jabatan direktur sebuah perusahaan. Karena itu orang tua itu hanya menerima surat dari Alwi. Sebenarnya ia, Pak Kasim, lelaki pensiunan guru itu kecewa. Sebagai anak yang terpelajar, mustinya Alwi pulang ke Sumatra menjumpai ayahnya terlebih dahulu. Mustinya ada pesta selamatan di rumah, biar orang-orang sekampung tahu bahwa Pak Kasim yang cuma pensiunan guru SD berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang. Tapi hal itu tidak terjadi. Ia mencoba maklum, betapa kesibukan orang di zaman modern tidak sama dengan kesibukan orang di zaman ia ketika muda dulu. Bukankah wesel itu dimaksudkan anaknya untuk membeli tiket ke Jakarta?
Dulu memang ia pernah ke Jakarta sewaktu Alwi diwisuda menjadi sarjana, tetapi waktu itu ia masih bersama istrinya, ibu Alwi yang kini sudah marhum. Sudah hampir sepuluh tahun ia tidak pernah lagi ke Jakarta. Kini, walaupun Alwi sudah punya rumah sendiri dan punya pembantu, istri yang cantik dari Bandung, dua orang anak yang salah satunya lahir di Amerika, lelaki tua itu tak hendak ke Jakarta. Ia merasa tidak kuat lagi duduk di atas kendaraan apa saja berlama-lama. Biar pesawat terbang, atau taksi, apalagi bus antarkota, ia merasa tak kuat.
Maklumlah umurnya sekarang menjelang delapan puluh tahun. Umur yang sangat tua untuk orang Indonesia. Bukan itu saja, pendengarannya pun sudah tidak berfungsi dengan baik. Memang ia memakai alat bantu dengar yang dicantelkan pada tangkai kacamata, tetapi baterainya tidak selalu baru. Ketika baterainya betul-betul habis, ia merasa amat pekak.
***
Soal pendengaran itu amat menakutkannya. Untuk ia masih dapat melihat, berpikir, dan beribadat dengan baik. Dan yang paling penting, masih bisa berperasaan. Artinya, ia masih bisa mencurahkan perasaannya sewaktu menulis surat kepada anak laki-lakinya Alwi. Dalam suratnya, lelaki itu mengatakan bahwa ia sangat ingin mendengarkan suara anaknya, suara pewaris keturunannya. Tentu saja termasuk suara cucu-cucunya.
Tapi sayang, Alwi menerjemahkan lain. Oleh karena itu ia mengirimkan wesel ekstra untuk memasang telepon agar suaranya dapat terdengar oleh ayahnya. Urusan memasukkan telepon itu telah dilaksanakan oleh suami anak bungsunya yang menjadi guru SMP itu. Memang menantunya inilah yang selalu mendengarkan apa-apa yang dibicarakannya. Bahkan menantunya inilah sekarang yang bertindak seolah-olah anak laki-lakinya.
Hatinya mulai agak gembira ketika Alwi meneleponnya malam-malam sehabis bekerja sehari suntuk. Walaupun tidak bertemu muka, ia dapat mendengarkan suara anaknya yang amat dikenalnya sejak kecil. Bahkan ia masih ingat bila saatnya suara Alwi berubah dari suara anak-anak menjadi suara dewasa.
”Bila ayah perlu apa-apa, putar saja nomor telepon saya. Jika saya atau istri saya tidak ada di rumah, katakan saja apa yang ayah maui, suara ayah akan terekam dalam alat perekam telepon di sini. Malamnya saya bisa telepon ayah lagi. Ini, cucu ayah, Doni, mau mengucapkan selamat tidur. ’Selamat tidur kakek. Tidur yang enak ya kek?’ Nah, yang kecil sudah tidur sejak saya pulang malam ini. Sampai jumpa ayah...”
***
 Telepon itu terputus. Esoknya, di warung kopi ia menceritakan kepada orang-orang bahwa anaknya tiap hari berbicara dengannya lewat telepon. Orang-orang di desa itu kagum. Malah banyak yang ingin mendengarkan percakapan itu, tapi tak berani mengutarakannya.
”Apakah weselnya tetap datang?”
”O, tentu. Tiap bulan musti datang. Bulan kemarin jumlahnya jauh lebih banyak dari sebelumnya. Dan,” orang tua itu berpikir sebentar, ”katanya ’selamat bersenang-senang ayah’...”
”Anak saya Kadir tidak pernah kirim wesel. Ia hanya nitip sama orang yang pulang kampung. Untungnya Kadir pulang tiap menjelang puasa masuk. Paling tidak, sebelum Lebaran ia sudah di sini bersama keluarganya,” kata Tan Marajo yang juga punya punya anak di Jakarta mencari nafkah dengan menjual sate Padang dengan gerobak sorong, masuk lorong keluar lorong.
Mendengar cerita Tan Marajo teman bicaranya di warung kopi itu, Pak Kasim merasa sedikit tersinggung. Ia merasa tersindir karena Alwi memang tidak pernah pulang sejak sepuluh tahun belakangan ini. Ia pura-pura menggosok lensa kacamatanya sambil mencari-cari kata-kata yang tepat untuk membalas sindiran itu.
”Emangnya Kadir anakmu itu kerja apa di Jakarta?”
”Jualan sate!” jawab Tan Marajo polos.
”Pantas, mana ada orang perlu makan sate di siang hari bulan puasa. Kalau jualan di malam hari, kasihan kesehatannya. Bisa-bisa paru-paru basah dia. Sekali kena, sukar sembuhnya.”
”Benar Engku Guru,” jawab Tan Marajo sambil menggulung rokok.
Tetapi jawaban yang polos dan lugu itu malah menyakitkan hati orang tua itu. Ia mencoba kalimat lain yang lebih atas agar tidak merasa terlalu tertekan benar.
”Alwi tidak bisa sembarang libur. Perusahaan yang sebesar itu yang menjadi tanggung jawabnya menyangkut khalayak banyak dan negara. Ia lebih banyak ke luar negeri daripada ke daerah-daerah.”
Orang tua itu mulai batuk-batuk, setiap ia melepaskan perasaannya. Napasnya agak sesak.
”Syukurlah Engku Guru,” jawab Tan Marajo seenaknya.
”Syukur apa?”
”Ya, maksud saya, Engku Guru patut bersyukur karena anak-anak Engku tida ada yang susah-susah cari uang seperti anak-anak kami kebanyakan orang kampung kita ini.”
”Apa itu tidak susah? Kau lihat bagaimana aku dulu menyekolahkan anak-anakku? Pulang mengajar, aku harus berkebun sayur dan pisang. Malah pisang-pisangku sempat diijon orang agar aku cepat dapat uang belanja sekolah anak-anakku. Gaji guru? Mana cukup. Lepas belanja seminggu saja sudah syukur. Sekarang Alwi sudah sarjana dalam dan luar negeri. Tapi untuk menjenguk orangtuanya saja, ia tidak punya waktu karena pemerintah terlalu berat memberinya beban pekerjaan.”
***
Ia seperti bicara pada dirinya sendiri tanpa melihat lagi pada Tan Marajo. Tan Marajo memang telah pamit, karena sudah dekat magrib. Sayang pendengarannya memang kurang baik, sehingga ia tidak tahu bahwa lawan bicaranya sudah pergi. Dari amben warung kopi itu ia memandang jauh ke perbukitan yang mulai remang cahaya. Lalu ia dikejutkan oleh sentuhan tangan cucu perempuan yang paling disayanginya, putri Anis, anak bungsunya yang setia tinggal bersamanya di rumah orang tua itu.
”Ibu suruh jemput kakek, sebentar lagi magrib.”
”Ya, ya. Untung ibumu tidak merantau pula. Kalau tidak, dengan siapa aku tinggal?”
Putri kecil itu hanya tersenyum karena tidak mengerti apa yang sedang bergejolak di pikiran kakeknya itu. Ia hanya membimbing kakeknya pulang ke rumah dan berusaha menjaga kakeknya agar tetap berjalan di pinggir karena kendaraan yang meluncur di jalan hotmix itu bisa-bisa tidak terdengar oleh telinganya yang kurang berfungsi dengan baik.
Dulu jalan itu memang jalan kampung berkerikil dan berlubang-lubang, kendaraan tidak terlalu banyak. Sekarang setelah menjadi bagian dari pinggiran kota, jalan itu menjadi mulus dan besar. Apalagi di dekat kampung itu sekarang telah berdiri rumah-rumah pemukim baru yang dibangun real estate. Jalan itu sekarang menjadi ramai, sementara penduduk asli masih merasa jalan itu sebagian halaman rumahnya.
Walaupun sebenarnya jarak warung kopi Jalil ke rumahnya tidak sampai lima ratus meter, bagi Pak Kasim cukup membuat napasnya sesak. Tapi, sebagai warga kampung, satu-satunya ajang bersosialisasi adalah warung kopi itu selain masjid. Lagipula, ia ingin ada orang lain yang mendengarkan suaranya. Di situlah tempatnya. Di rumah ia sering tinggal sendiri, kecuali anak-anak Anis yang asyik bermain. Menantunya sibuk mengajar di sekolah dari pagi hingga siang dan di sekolah swasta sore harinya. Terlalu sepi.
***
Pada suatu malam, ia telah lama menunggu telepon dari Alwi. Setelah habis siaran televisi, tidak juga berdering telepon itu. Ia nekat menelepon Alwi. Lama baru ada jawaban. Suara itu bukan pula suara Alwi. Tidak pula suara istri Alwi, melainkan suara pembantu yang medok.
”Tuan dan nyonya baru saja berangkat ke Paris sore ini. Kalau bapak ada pesan, biar saya rekam. Ngomong saja Pak.” Lelaki tua itu membanting telepon. Dengan susah payah, ia menemukan kertas putih dan pena. Lalu ia menulis panjang sekali. Setelah menulis dua halaman penuh di atas kertas folio putih, ia merasa pusing. Mencoba berbaring. Tapi pusingnya tidak mau hilang. Ia enggan membangunkan anak bungsunya yang esok harus bangun pagi karena tugasnya menunggu di sekolah, seperti yang dilakukannya selama tiga puluh lima tahun dulu.
Lelaki tua itu pasrah. Membaca doa-doa. Semuanya menjadi gelap. Lalu ia merasa melayang-layang. Tenaganya hilang lenyap. Badannya serasa kapas, terombang-ambing dibawa angin sejuk yang aneh. Lelaki itu menangkap cahaya lembut dan jalan lempang tanpa ujung. Tetapi telepon berdering. Ia tak punya keinginan apa-apa untuk mengangkat gagang telepon itu lagi.
***
Telepon berdering terus. Lama baru Anis buru-buru masuk ke kamar ayahnya untuk mengangkat telepon itu. Lampu kamar itu masih terang benderang. Sekilas dilihatnya ayahnya tidur nyenyak dan surat yang baru saja ditulis tergeletak di meja.
”Ya, halo. Dari mana? Paris?”
”Ya, ini Bang Alwi dari Paris. Ini Anis? Bagaimana ayah? Sehat?”
”Ya, ayah tidur, eh tunggu sebentar... Ayah...ayah... Bangun Yah. Aduh, bagaimana ini. Bang Syariiiif, ayah meninggal. Halo, ayah tidak ada lagi.”
”Halo, bagaimana? Ayah ke mana?”
“Ayah meninggal!”
Syarif, suami Anis mencoba mencari nadi di pergelangan mertuanya. Tamat. Riwayat orang tua itu sudah tamat. Anis menangis, Syarif menutup wajah orang tua itu dengan selendang. Lalu membaca surat yang baru saja ditulis orang tua itu di meja. Di balik kertas bertuliskan surat wasiat itu ditemukan Syarif buku tabungan yang kalau tidak salah lebih dari dua puluh satu juta rupiah. Syarif tercengang karena wesel yang selama ini diterima orang tua itu dari Alwi, tak sepeser pun dibelanjakannya. Kini dalam surat wasiatnya, uang itu diwariskannya kembali kepada anak laki-lakinya satu-satunya, Alwi.
Alwi pulang ke kampung langsung dari Paris mendapatkan tanah merah dan warisan buku tabungan di bank. Cerita itu lama berkembang di kampung saya hingga kini.

Padang, Januari 1993
Kompas, 7 Februari 1993
BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Istilah wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan.\
Cerpen ”Dari Paris” ditulis oleh Harris Effendi Thahar, lelaki kelahiran Tembilahan, Riau 4 Januari 1950 dari keluarga perantau Minang. Harris Effendi Thahar termasuk pengarang yang produktif. Di dalam karya-karyanya ia banyak memotret realitas sosial yang terjadi di perkotaan. Karya-karyanya yang telah terbit diantaranya adalah Lagu Sederhana Merdeka, Bendera Kertas dan Daun Jati, Si Padang, dan lain-lain.
Cerpen merupakan media yang efektif untuk mengungkapkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan cerita yang menarik, tahap-tahap ketegangan cerita, didukung dengan penciptaan karakter tokoh yang bervariasi, menjadikan cerpen sebagai pilihan untuk itu. Berbeda dengan pidato atau khotbah yang lebih terkesan menggurui, di dalam cerpen pembaca lebih dihadapkan pada suatu fenomena dan akhirnya pembaca sendirilah yang akan mengambil makna dan nilai-nilai di dalamnya, untuk kemudian dijadikan sebagai perenungan, refleksi, dan juga kontrol sosial.
Wacana puisi adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi.
·                Wacana puisi tulis (Puisi dan syair)
·                Wacana puisi lisan ( puisi yang dideklamasikan dan lagu-lagu)
Puisi adalah bentuk karangan yang tidak terikat oleh rima, ritme, ataupun jumlah barisserta ditandai oleh bahasa yang padat.



B.     Saran
Mahasiswa di tuntut untuk lebih dalam mempelajari pelajaran Bahasa Indonesia. Karena dengan itu dapat menambah wawasan kita. Misalnya dalam pembuatan suatu wacana khususnya wacana puisi sehingga kita tidak keliru lagi dan lebih memahami unsur-unsur yang menyangkut tentang wacana.




















DAFTAR PUSTAKA

Amir Purba. 2007. Menyelami Analisis Wacana Melalui Paradigma KritistClose            http://dictum4magz.wordpress.com. diunduh Jumat 12 Maret 2010,            pukul 18.00
Anton M. Moeliono (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Discourse Analysis. Cambridge:    Cambridge University Press.

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT          Gramedia Pustaka Utama.

Cook,Guy. 1997. Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Fairlough, Norman. 1997. Critical Discourse Analysis: The Critical Study    of         Language. London: Longman

Fatimah Djajasudarma. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan antar Unsur.             Bandung: Eresco.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks:    Aspek-             aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial.    Yogyakarta: Gadjah    Mada University Press.

Hasan Alwi, et.al. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonasia. Jakarta:       Balai    Pustaka.

I.G.D. Oka dan Suparno. 1994. Linguisik Umum. Jakarta: Depdikbud.
Levinson. 1991. Pragmatics. Cambridge: CU Press.

McCarthy, Michael. 1990. Vocabulary. Oxford:  Oxford University Press

McCarthy, Michael. 1997. Discourse Analysis for Language Teachers.        Cambridge: Cambridge University Press.

Martutik. 2009. Hakikat Wacana dan Wacana Bahasa Indonesia.    http://pustaka.ut.ac.id. diunduh Jumat 12 Maret 2010, pukul 18.00.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana:Teori, Metode, dan Aplikasi prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nunan, David. 1993. Introducing Discourse Analysis. London: Penguin      Books


Share:

0 komentar:

Posting Komentar