BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Wacana merupakan satuan bahasa di
atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial.
Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat
berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional.
Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai
proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara
tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa.
Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis
wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang
digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Dalam
perkembangannya, dari segi bentuk dan panjangnya cerpen merupakan karya sastra
yang paling cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan media bukan sastra,
misalnya koran. Entah berapa ratus cerpen terpublikasikan di media pada setiap
bulannya, sebab hampir semua majalah hiburan dan surat kabar umum yang memiliki
edisi minggu menyediakan rubrik khusus cerpen.
Cerpen sebagai
suatu karya sastra yang relatif pendek, dengan hanya beberapa halaman, dengan
kalimat-kalimat realis yang sederhana, terbukti sanggup membuktikan kosmos
suatu kondisi dengan tampilan yang utuh. Dengan kecenderungan untuk tidak
berkhotbah, cerpen dengan cukup sarat pasi mampu menggambarkan bahwa konflik
dengan kekuatan eksternal, yakni pada sosiokultural sebuah kampung pada masa
transisi dapat dibangun dengan sempurna. Begitu pula konflik internal yang
dibangun pada unsur-unsur kohesif yang membentuk wacana cerpen, lewat
penggambaran tokoh, adegan, dialog-dialog yang diucapkan para tokoh, pun
ternyata mampu membangun suatu kesatuan yang padu.
Dalam tulisan
ini akan dianalisis aspek sosial budaya serta penanda kohesi baik gramatikal
maupun leksikal, pada sebuah cerpen karya Harris Effendi Thahar yang berjudul
”Dari Paris”. Cerpen ini termasuk di dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas
Tahun 1994 yang berjudul Lampor.
Cerpen ini
menggambarkan tentang bias-bias perubahan zaman, dan peran keluarga sebagai
pemersatu kerukunan telah menjadi ilusi semata. Harris Effendi Thahar dengan
cerdas mampu menggambarkan hilangnya ikatan batin sebuah keluarga. Cerpen ”Dari
Paris” dibangun dengan alur maju yang rapat dengan bahasa yang sederhana
sehingga mudah dicerna oleh siapa saja. Dengan daya cerita yang mengalir dan
gaya ungkap yang tidak menggurui, mengakibatkan pembaca tertarik untuk membaca
lebih jauh, mengerti akhir ceritanya, dan memahami maknanya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah hakikat wacana ?
b. Apakah hakikat analisis wacana?
c. Bagaimana Model Analisis Wacana Drama?
d. Bagaimanakah deskripsi situasi dan konteks sosial budaya
telah membangun cerpen ”Dari Paris”?
e. Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal maupun leksikal
dalam cerpen ”Dari Paris”?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Wacana Bahasa Indonesia
Istilah wacana berasal dari kata
sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu
kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan
lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang
pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang
digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih
besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Kata wacana
juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi,
sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pembahasan wacana
berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan
berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana
maupun keterampilan berbahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi.
Wacana berkaitan dengan unsur
intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang berkaitan
dengan proses komunikasi seperti interaksi sosial (konversasi dan pertukaran)
dan pengembangan tema (monolog dan paragraf). Realitas wacana dalam hal ini
adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan
verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktur
bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu
pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat atau tanda-tanda
yang bermakna).
Istilah Wacana secara etimologi,
“wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’,
‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, maka kata wac
dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m)
yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujaran’. Kata tersebut kemudian
mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul dibelakang
adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Jadi kata wacana
dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Dalam Kamus Bahasa Jawa
Kuno-Indonesia karangan Wojowasito (1989:651), terdapat kata waca
yang berarti ‘baca’, kata u/amaca yang artinya ‘membaca’, pamacan
(pembacaan), ang/mawacana (berkata), wacaka (mengucapkan), dan wacana
yang artinya ‘perkataan’. Kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks
kalimat bahasa Jawa Kuno berikut: “Nahan wuwus sang tapa sama madhura wacana
dhara” (Demikian sabda sang pandita, ramah sikap dan perkataananya).
Wujud wacana sebagai media
komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi
wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau dialog lengkap dan
penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud
sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
B.
Struktur Wacana Bahasa Indonesia
Wacana merupakan medium komunikasi
verbal yang bisa diasumsikan dengan adanya penyapa (pembicara dan penulis) dan
pesapa (penyimak dan pembaca).
1. Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat diperoleh ciri atau karakterisitik sebuah wacana. Ciri-ciri wacana adalah
sebagai berikut :
·
Satuan gramatikal
·
Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
·
Untaian kalimat-kalimat
·
Memiliki hubungan proposisi
·
Memiliki hubungan kontinuitas, berkesinambungan
·
Memiliki hubungan koherensi
·
Memiliki hubungan kohesi
·
Rekaman kebahasaan utuh dari peristiwa komunikasi
Bisa transaksional juga interaksional
Bisa transaksional juga interaksional
·
Medium bisa lisan maupun tulis
·
Sesuai dengan konteks
·
Syamsuddin (1992:5) menjelaskan ciri dan sifat sebuah wacana
sebagai berikut.
·
Wacana dapat berupa rangkaian kalimat ujar secara lisan dan
tulis atau rangkaian tindak tutur
·
Wacana mengungkap suatu hal (subjek)
·
Penyajian teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan semua
situasi pendukungnya
·
Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu
·
Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental
2. Unsur Pembentuk Wacana
Wacana
berkaitan dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur
ekstralinguistik yang berkaitan dengan proses komunikasi seperti interaksi
sosial (konversasi dan pertukaran) dan pengembangan tema (monolog dan
paragraf).
3. Konteks dan Ko-teks
Wacana
merupakan bangunan semantis yang terbentuk dari hubungan semantis antarsatuan
bahasa secara padu dan terikat pada konteks. Ada bermacam-macam konteks dalam
wacana. Wacana lisan merupakan kesatuan bahasa yang terikat dengan konteks
situasi penuturnya. Konteks bagi bahasa (kalimat) dalam wacana tulis adalah
kalimat lain yang sebelum dan sesudahnya, yang sering disebut ko-teks.
4. Teks
Fairdough
(dalam Eriyanto, 2008:289) melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks
bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana
hubungan antarobjek didefinisikan. Setiap teks pada dasarnya, menurut Firdough
dapat diuraikan dan dianalisis dari ketiga unsur tersebut.
C.
Jenis-Jenis Wacana Bahasa Indonesia
Pengelompokan wacana bergantung pada
sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam
komunikasi dikenal ada wacana monolog, dialog dan poligon. Sedangkan dilihat
dari tujuan komunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi
dan narasi. Sedangkan dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana lisan
dan tulisan. Berikut, penjelasan mengenai jenis-jenis atau ragam wacana yang
telah disebutkan tadi.
1. Jenis
wacana dilihat berdasarkan jumlah peserta
Dalam
wacana ini yang terlibat pembicaraan dalam berkomunikasi. Ada tiga jenis wacana
berdasarkan wacana jumlah peserta yang ikut ambil bagian sebagai pembicaraan,
yaitu monolog, dialog, dan polilog.
·
Wacana Monolog
Pada
wacana monolog, pendengar tidak memberikan tanggapan secara langsung atas
ucapan pembicara. Pembicara mempunyai kebebasan untuk menggunakan waktunya,
tanpa diselingi oleh mitra tuturnya. Contoh dari wacana monolog adalah ceramah,
pidato.
·
Wacana Dialog
Kemudian,
apabila peserta dalam komunikasi itu ada dua orang dan terjadi pergantian peran
(dari pembicaraan menjadi pendengar atau sebaliknya), wacana yang dibentuknya
disebut dialog. Contoh dari wacana dialog, adalah antara dua orang yang sedang
mengadakan perbincangan di sekolah. Situasinya bisa resmi dan tidak resmi.
·
Wacana Polilog
Adapun
apabila peserta dalam komunikasi itu lebih dari dua orang dan terjadi
pergantian peran, wacana yang dihasilkan disebut polilog. Contohnya adalah
perbincangan antara beberapa orang dan mereka memiliki peran pembicaraan dan
pendengar. Situasinya pun bisa resmi dan tidak resmi.
2. Jenis
wacana ditinjau dari tujuan berkomunikasi
Wacana
berdasarkan tujuan berkomunikasi, diantaranya wacana argumentasi, persuasi,
eksposisi, deskripsi, dan narasi. Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan
kelima wacana tersebut.
·
Wacana Argumentasi
Karangan
argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi
pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang
didasarkan pada pertimbangan logis dan emosional (Rottenberg, 1988:9). Argumentasi
adalah semacam bentuk wacana yang berusaha membuktikan suatu kebenaran. Lebih
jauh sebuah argumentasi berusaha mempengaruhi serta mengubah sikap dan pendapat
orang lain untuk menerima suatu kebenaran dengan mengajukan bukti-bukti
mengenai objek yang diargumentasikan itu. (Gorys Keraf, 1995:10) dilihat dari
sudut proses berfikir adalah suatu tindakan untuk membentuk penalaran dan
menurunkan kesimpulan. Contoh wacana argumentasi adalah :
Namun,
yang menjadi kekawatiran adalah adanya efek negatif akibat dosis vitamin dan
mineral yang dikonsumsi secara berlebihan, terutama oleh mereka yang memiliki
kondisi tubuh yang sehat. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa multivitamin
tidak terbukti dapat mencegah timbulnya suatu penyakit dan suplemen vitamin
juga tiadak bisa memperbaiki gizi yang buruk akibat pola makan yang
sembarangan. Bahkan meminum jenis vitamin dan mineral dalam dosis tinggi dalam
jangka waktu panjang bisa memicu resiko timbulnya penyakit tertentu. (Reader’s
Digest Indonesia, Oktober 2004).
·
Wacana Eksposisi
Wacana
eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca)
agar bersangkutan memahaminya. Eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang
berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan
pembaca. Wacana ini digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu objek,
misalnya menjelaskan pengertian kebudayaan, komunikasi, perkebangan teknologi,
pertumbuhan ekonomi kepada pembaca.
Wacana
ini juga menyajikan penjelasan yang akurat dan padu mengenai topik-topik yang
rumit, seperti struktur negara atau pemerintahan, teori tentang timbulnya suatu
penyakit. Ia juga digunakan untuk menjelaskan terjadinya sesuatu, beroprasinya
sebuah alat dan sebagainya.
Agar
diperoleh hasil maksimal, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Sebelum melakukan pemutihan gigi, pasien perlu terlebih
dahulu didiagnosis kondisi giginya, seperti enamel gigi harus bagus karena
proses pemutihan berlangsung pada enamel gigi.
2.
Selain itu juga diperhatikan apakah gigi tersebut masih
aktif atau tidak.
3.
Setelah melakukan pembersihan gigi, baru dokter akan
mengarahkan untuk memilih produk yang sesuai untuk dipakai (“Tampilkan Gigi
Putih Berseri”, Majalah Dewi No.5/XIII).
·
Wacana Persuasi
Wacana
persuasi adalah wacana yang bertujuan mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan
perbuatan sesuai yang diharapkan penuturnya. Untuk mempengaruhi pembacanya,
biasanya digunakan segala daya upaya yang membuat mitra tutur terpengaruh.
Untuk mencapai tujuan tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang
tidak rasional. Persuasi sesungguhnya merupakan penyimpangan dari argumentasi,
dan khusus berusaha mempengaruhi orang lain atau para pembaca. Agar pendengar
atau pembaca melakukan sesuatu bagi orang yang mengadakan persuasi, walaupun
yang dipersuasi sebenarnya tidak terlalu percaya akan apa yang dikatakannya
itu. Persuasi lebih mengutamakan untuk menggunakan atau memanfaatkan
aspek-aspek pesikologis untuk mempengaruhi orang lain. Jenis wacana persuasi
yang paling sering kita temui adalah kampanye dan iklan. Contoh wacana iklan
sebagai berikut : “pakai Daia, lupakan yang lain. Dengan harga yang semurah
ini, membersihkan tumpukan pakaian kotor Anda, menjadi lebih bersih cemerlang”.
·
Wacana Deskripsi
Wacana
deskripsi adalah bentuk wacana yang berusaha menyajikan suatu objek atau suatu
hal sedemikian rupa sehingga objek itu, sepertinya dapat dilihat, dibayangkan
oleh pembaca, seakan-akan pembaca dapar melihat sendiri. Deskripsi memiliki
fungsi membuat para pembacanya seolah melihat barang-barang atau objeknya.
Sebuah diskripsi mengenai rumah diharapkan menyajikan banyak penampilan
individu dan karakteristik dari rumah itu, dan beberapa aspek yang dapat
dianalisis, seperti besarnya, materi konstruksinya, dan rancangan
arsitekturnya.
Secara
singkat deskripsi bertujuan membuat para pembaca menyadari apa yang diserap
penulis melalui panca indranya, merangsang perasaan pembaca mengenai apa yang
digambarkan, menyajikan suatu kualitas pengalaman langsung. Objek yang
dideskripsikan mungkin sesuatu yang bisa ditangkap dengan panca indra kita,
sebuah hamparan sawah yang hijau dan pemandangan yang indah, jalan-jalan kota,
tikus-tikus selokan, wajah seorang yang cantik molek atau seseorang yang
bersedih hati, alunan musik atau gelegar guntur dan sebagainya. Contoh :
Pada
jeram pertama perahu besar berbalik arah, lalu memasuki jeram ketiga dengan
bagian buritan terlebih dahulu, sampai akhirnya… brak! Perahu menghantam batu
besar seukuran 4 x 3 meter, dan menempel pada batu dalam keadaan miring.
(“Jeram Maut,” Reader’s Digest Indonesia¸Oktober 2004).
·
Wacana Narasi
Wacana
narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Pada wacana narasi
terdapat unsur-unsur cerita yang penting, seperti waktu, pelaku, peristiwa.
Adanya aspek emosi yang dirasakan oleh pembaca atau penerima. Melalui narasi,
pembaca atau penerima pesan dapat membentuk citra atau imajinasi. Contoh wacana
narasi:
Sewaktu
aku duduk di ruang pengadilan yang penuh sesak itu, menunggu perkaraku
disidangkan, dalam hatiku bertanya-tanya berapa banyak orang-orang hari ini di
sini yang merasa, seperti apa yang kurasakan bingung, patah hati, dan sangat
kesepian. Aku merasa seolah-olah aku memikul beban berat seluruh dunia di
pundaku.
3. Jenis
wacana dilihat dari bentuk saluran yang digunakan
Saluran
yang digunakan dalam berkomunikasi, bisa dibedakan menjadi wacana lisan dan
wacana tulisan. Wacana tulisan adalah rangkaian kalimat yang ditranskripkan
dari rekaman bahasa lisan. Adapun wacana tulis adalah teks yang berupa
rangkaian kalimat yang menggunakan ragam tulis. Adapun contoh wacana lisan,
misalnya percakapan, khotbah (spontan), dan siaran langsung di radio atau TV.
Sedangkan wacana tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran,
artikel, makalah.
D.
Memahami Model Wacana Cerpen “Dari
Paris” Oleh Efendi Thahar
Cerpen ”Dari
Paris” ditulis oleh Harris Effendi Thahar, lelaki kelahiran Tembilahan, Riau 4
Januari 1950 dari keluarga perantau Minang. Harris Effendi Thahar termasuk
pengarang yang produktif. Di dalam karya-karyanya ia banyak memotret realitas
sosial yang terjadi di perkotaan. Karya-karyanya yang telah terbit diantaranya
adalah Lagu Sederhana Merdeka, Bendera Kertas dan Daun Jati, Si Padang, dan
lain-lain.
Cerpen
merupakan media yang efektif untuk mengungkapkan realitas sosial yang terjadi
di masyarakat. Dengan cerita yang menarik, tahap-tahap ketegangan cerita,
didukung dengan penciptaan karakter tokoh yang bervariasi, menjadikan cerpen
sebagai pilihan untuk itu. Berbeda dengan pidato atau khotbah yang lebih
terkesan menggurui, di dalam cerpen pembaca lebih dihadapkan pada suatu
fenomena dan akhirnya pembaca sendirilah yang akan mengambil makna dan
nilai-nilai di dalamnya, untuk kemudian dijadikan sebagai perenungan, refleksi,
dan juga kontrol sosial.
Pada cerpen
”Dari Paris”, pengarang mencoba memotret tentang perubahan sosial yang terjadi
di Padang, Sumatra. Bagaimana disebabkan tuntutan zaman yang serba modern,
menjadikan seorang anak tidak lagi sempat untuk mengunjungi orang tuanya di
sebuah kampung yang sedang dalam masa transisi menuju ke perkotaan. Akhirnya
terciptalah sebuah drama melo ketika sang anak akhirnya menyadari kesalahannya
justeru di saat sang ayah meninggal dunia, meninggalkan buku tabungan yang
sebenarnya merupakan kiriman dari sang anak setiap bulannya. Namun, oleh sang
ayah sepeserpun uang itu tak pernah dibelanjakannya.
Kebahagiaan
memang tak dapat dinilai dengan apa pun, itulah kira-kira pesan yang coba
diselipkan oleh pengarang. Selain daripada pesan-pesan moral yang lain, seperti
kewajiban seorang anak untuk memperhatikan orang tuanya, dan juga seperti
layaknya di kampung, sosialisasi menjadi hal yang sangat dijaga. Dan
sebagaimana biasanya, warung dan masjidlah yang menjadi tempat sosialisasi yang
pas.
Analisis aspek gramatikal dalam wacana meliputi: pengacuan, penyulihan,
pelesapan, dan konjungsi. Berikut ini adalah pemaparan aspek-aspek
gramatikal yang dijumpai dalam cerpen ”Dari Paris”.
1.
Referensi/pengacuan
·
Pengacuan
Persona
Pengacuan persona yang terdapat
dalam cerpen ”Dari Paris” meliputi pronomina persona pertama tunggal, pronomina
persona pertama jamak, pronomina persona kedua tunggal, dan pronomina persona
ketiga tunggal. Adapun sifat pengacuan yang ada adalah endoforis yang dapat
dilihat dari data berikut:
a. ”Anak saya Kadir tidak pernah kirim wesel. Ia
hanya nitip sama orang yang pulang kampung.”
b. ”Kau lihat bagaimana aku dulu menyekolahkan
anak-anakku? Pulang mengajar, aku harus berkebun sayur dan
pisang. Malah pisang-pisangku sempat diijon orang agar aku cepat dapat
uang belanja sekolah anak-anakku.”
c. ”Anak-anak Engku Guru tidak ada yang susah-susah cari
uang seperti anak-anak kami kebanyakan orang kampung kita ini.”
d. ”Kau lihat bagaimana aku dulu menyekolahkan
anak-anakku?”
e. ”Ya, ya. Untung ibumu tidak merantau pula.”
f. ”Emangnya Kadir anakmu itu kerja apa di Jakarta?”
g. Suatu hari orang tua pensiunan itu menerima wesel dari
Alwi, anak lelakinya satu-satunya. Ia sangat gembira.
h. Sebenarnya ia, Pak Kasim, lelaki pensiunan guru
itu kecewa.
Pada data a) terdapat pengacuan persona pertama tunggal
bentuk bebas saya yang mengacu pada Tan Marajo. Sedangkan aku (bentuk
bebas) dan ku (persona pertama tunggal bentuk terikat) pada data
b) mengacu pada Pak Kasim, tokoh utama dalam cerita. Persona pertama jamak
terdapat pada data c) yakni pada kata kami dan kita. Kata kami
merupakan pronomina persona pertama jamak yang bersifat eksklusif, dalam
mengacu pada Tan Marajo bersama warga kampung kebanyakan, tidak termasuk Pak
Kasim sebagai mitra tutur. Sedangkan kita merupakan pronomina persona
jamak yang bersifat inklusif, artinya mengacu juga pada lawan bicara.
Pengacuan persona kedua tunggal bentuk bebas kau
terdapat pada data d) yang mengacu pada Tan Marajo. Adapun pengacuan persona
kedua bentuk terikat lekat kanan terdapat pada data e) dan f) –mu yang
mengacu pada putri Anis pada e) dan Tan Marajo pada f). Dalam cerpen ini tidak
terdapat pengacuan persona kedua tunggal terikat lekat kiri.
Pengacuan persona ketiga tunggal bentuk bebas ia
terdapat pada g) dan h) yang mengacu pada Pak Kasim. Terdapat pula pengacuan
persona ketiga tunggal bentuk terikat lekat kanan pada g) yang mengacu pula
pada Pak Kasim.
Berdasarkan posisi anteseden, pada data g) terdapat
anafora pada kalimat Alwi, anak lelakinya satu-satunya,
yakni konstituen yang diacu berada di sebelah kiri konstituen pengacu, atau
konstituen yang diacu disebutkan terlebih dahulu. Sedangkan pada data h)
terdapat katafora, kebalikan dari anafora, konstituen yang diacu berada di
sebelah kanan konstituen pengacu. Ini terdapat pada kalimat sebenarnya ia,
Pak Kasim, lelaki pensiunan guru itu kecewa.
·
Pengacuan
Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti
penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua yakni pronomina demonstratif waktu
(temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Demonstratif waktu
terdiri atas waktu sekarang, lampau, akan datang, dan waktu netral.
Demonstratif tempat terdiri dari tempat dekat, agak dekat, dan jauh. Pada
cerpen ”Dari Paris” terdapat demonstratif waktu dan tempat seperti pada data
berikut ini.
a. Beberapa bulan sebelum wesel itu datang, ia menerima
potret keluarga Alwi di Amerika. Alwi dan keluarganya hampir dua tahun menetap di
sana disekolahkan perusahaan tempat ia bekerja. Kini ia telah pulang
ke tanah air, tetapi tidak sempat pulang ke kampung menjenguk ayahnya.
b. Dulu jalan itu memang jalan kampung
berkerikil dan berlubang-lubang, kendaraan tidak terlalu banyak. Sekarang setelah
menjadi bagian dari pinggiran kota, jalan itu menjadi mulus dan besar.
Pada data a)
terdapat penanda demonstratif lokasional jauh di sana, dan demonstratif
temporal waktu sekarang kini. Sedangkan pada data b) demonstratif
lokasional determinator jarak netral, tidak jauh dan tidak dekat terdapat pada jalan
itu, sedangkan demonstratif temporal pada waktu lampau terdapat pada kata dulu,
waktu sekarang pada kata sekarang.
Komparatif
Salah satu
bentuk kohesi gramatikal adalah komparatif yaitu membandingkan dua hal atau
lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap,
sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Pada cerpen ”Dari Paris” terdapat
komparatif sebagai berikut.
a.
Memang
menantunya inilah yang selalu mendengarkan apa-apa yang dibicarakannya. Bahkan
menantunya inilah sekarang yang bertindak seolah-olah anak laki-lakinya.
b.
Lalu ia
dikejutkan oleh sentuhan tangan cucu perempuan yang paling disayanginya,
putri Anis, anak bungsunya yang setia tinggal bersamanya di rumah orang tua
itu.
c.
Badannya serasa
kapas, terombang-ambing dibawa angin sejuk yang aneh.
Pada data a)
satuan lingual seolah-olah membandingkan sosok menantu Pak Kasim sebagai
anak lelakinya, Alwi. Adapun b) satuan lingual yang paling menunjukkan
komparatif pada tingkat superlatif. Di dalamnya diperbandingkan rasa sayang
yang tercurah dari Pak Kasim terhadap cucu-cucunya, dan dari sekian banyak
cucunya yang paling disayangi Pak Kasim adalah putri Anis. Sedangkan satuan
lingual serasa pada c) membandingkan badan Pak Kasim sebagai kapas yang
sangat ringan dan dapat terombang-ambing oleh angin sejuk yang bertiup.
Analisis
Leksikal
Kepaduan wacana selain didukung oleh aspek gramatikal
atau kohesi gramatikal juga didukung oleh kohesi leksikal. Aspek leksikal
adalah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis.
Analisis aspek leksikal dalam wacana meliputi:
Reiterasi dan Kolokasi. Berikut ini adalah pemaparan aspek-aspek leksikal yang
dijumpai dalam cerpen ”Dari Paris”.
Berikut ini cerpen "Dari Paris" karya Harris
Effendy Thahar
Dari
Paris
Suatu hari orang tua pensiunan itu
menerima wesel dari Alwi, anak lelakinya satu-satunya. Ia amat gembira. Saking
gembiranya, lama sekali wesel itu tidak ditukarkanya di kantor pos. Wesel itu
dikantunginya berminggu-minggu sampai-sampai orang-orang di warung kopi Jalil
tempatnya mangkal sore-sore sudah tahu semua. Orang-orang kagum, karena jumlah
uang yang dikirimkan anaknya itu sangat banyak. Padahal, lelaki tua itu tidak
membutuhkan uang sebanyak itu. Ia punya cukup uang pensiun. Istrinya sudah lama
meninggal. Anak perempuannya yang sulung sudah lama bermukim di Arab bersama
suami dan anak-anaknya. Anak perempuannya yang bungsu menjadi guru SD dan suami
anak bungsunya menjadi guru SMP di kampung itu. Semua berjalan baik-baik saja.
Tiap panen hampir tak ada yang gagal.
Beberapa bulan sebelum wesel itu
datang, ia menerima potret keluarga Alwi di Amerika. Alwi dan keluarganya
hampir dua tahun menetap di sana disekolahkan perusahaan tempat ia bekerja.
Kini ia telah pulang ke tanah air, tetapi tidak sempat pulang ke kampung
menjenguk ayahnya karena Alwi segera menduduki jabatan direktur sebuah
perusahaan. Karena itu orang tua itu hanya menerima surat dari Alwi. Sebenarnya
ia, Pak Kasim, lelaki pensiunan guru itu kecewa. Sebagai anak yang terpelajar,
mustinya Alwi pulang ke Sumatra menjumpai ayahnya terlebih dahulu. Mustinya ada
pesta selamatan di rumah, biar orang-orang sekampung tahu bahwa Pak Kasim yang
cuma pensiunan guru SD berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang. Tapi hal
itu tidak terjadi. Ia mencoba maklum, betapa kesibukan orang di zaman modern
tidak sama dengan kesibukan orang di zaman ia ketika muda dulu. Bukankah wesel
itu dimaksudkan anaknya untuk membeli tiket ke Jakarta?
Dulu memang ia pernah ke Jakarta
sewaktu Alwi diwisuda menjadi sarjana, tetapi waktu itu ia masih bersama
istrinya, ibu Alwi yang kini sudah marhum. Sudah hampir sepuluh tahun ia tidak
pernah lagi ke Jakarta. Kini, walaupun Alwi sudah punya rumah sendiri dan punya
pembantu, istri yang cantik dari Bandung, dua orang anak yang salah satunya
lahir di Amerika, lelaki tua itu tak hendak ke Jakarta. Ia merasa tidak kuat
lagi duduk di atas kendaraan apa saja berlama-lama. Biar pesawat terbang, atau
taksi, apalagi bus antarkota, ia merasa tak kuat.
Maklumlah umurnya sekarang menjelang
delapan puluh tahun. Umur yang sangat tua untuk orang Indonesia. Bukan itu
saja, pendengarannya pun sudah tidak berfungsi dengan baik. Memang ia memakai
alat bantu dengar yang dicantelkan pada tangkai kacamata, tetapi baterainya
tidak selalu baru. Ketika baterainya betul-betul habis, ia merasa amat pekak.
***
Soal pendengaran itu amat
menakutkannya. Untuk ia masih dapat melihat, berpikir, dan beribadat dengan
baik. Dan yang paling penting, masih bisa berperasaan. Artinya, ia masih bisa
mencurahkan perasaannya sewaktu menulis surat kepada anak laki-lakinya Alwi.
Dalam suratnya, lelaki itu mengatakan bahwa ia sangat ingin mendengarkan suara
anaknya, suara pewaris keturunannya. Tentu saja termasuk suara cucu-cucunya.
Tapi sayang, Alwi menerjemahkan lain.
Oleh karena itu ia mengirimkan wesel ekstra untuk memasang telepon agar
suaranya dapat terdengar oleh ayahnya. Urusan memasukkan telepon itu telah
dilaksanakan oleh suami anak bungsunya yang menjadi guru SMP itu. Memang
menantunya inilah yang selalu mendengarkan apa-apa yang dibicarakannya. Bahkan
menantunya inilah sekarang yang bertindak seolah-olah anak laki-lakinya.
Hatinya mulai agak gembira ketika Alwi
meneleponnya malam-malam sehabis bekerja sehari suntuk. Walaupun tidak bertemu
muka, ia dapat mendengarkan suara anaknya yang amat dikenalnya sejak kecil.
Bahkan ia masih ingat bila saatnya suara Alwi berubah dari suara anak-anak
menjadi suara dewasa.
”Bila ayah perlu apa-apa, putar saja
nomor telepon saya. Jika saya atau istri saya tidak ada di rumah, katakan saja
apa yang ayah maui, suara ayah akan terekam dalam alat perekam telepon di sini.
Malamnya saya bisa telepon ayah lagi. Ini, cucu ayah, Doni, mau mengucapkan
selamat tidur. ’Selamat tidur kakek. Tidur yang enak ya kek?’ Nah, yang kecil
sudah tidur sejak saya pulang malam ini. Sampai jumpa ayah...”
***
Telepon itu terputus. Esoknya, di warung kopi
ia menceritakan kepada orang-orang bahwa anaknya tiap hari berbicara dengannya
lewat telepon. Orang-orang di desa itu kagum. Malah banyak yang ingin
mendengarkan percakapan itu, tapi tak berani mengutarakannya.
”Apakah weselnya tetap datang?”
”O, tentu. Tiap bulan musti datang.
Bulan kemarin jumlahnya jauh lebih banyak dari sebelumnya. Dan,” orang tua itu
berpikir sebentar, ”katanya ’selamat bersenang-senang ayah’...”
”Anak saya Kadir tidak pernah kirim
wesel. Ia hanya nitip sama orang yang pulang kampung. Untungnya Kadir pulang
tiap menjelang puasa masuk. Paling tidak, sebelum Lebaran ia sudah di sini
bersama keluarganya,” kata Tan Marajo yang juga punya punya anak di Jakarta
mencari nafkah dengan menjual sate Padang dengan gerobak sorong, masuk lorong
keluar lorong.
Mendengar cerita Tan Marajo teman
bicaranya di warung kopi itu, Pak Kasim merasa sedikit tersinggung. Ia merasa
tersindir karena Alwi memang tidak pernah pulang sejak sepuluh tahun belakangan
ini. Ia pura-pura menggosok lensa kacamatanya sambil mencari-cari kata-kata
yang tepat untuk membalas sindiran itu.
”Emangnya Kadir anakmu itu kerja apa di
Jakarta?”
”Jualan sate!” jawab Tan Marajo polos.
”Pantas, mana ada orang perlu makan
sate di siang hari bulan puasa. Kalau jualan di malam hari, kasihan
kesehatannya. Bisa-bisa paru-paru basah dia. Sekali kena, sukar sembuhnya.”
”Benar Engku Guru,” jawab Tan Marajo
sambil menggulung rokok.
Tetapi jawaban yang polos dan lugu itu
malah menyakitkan hati orang tua itu. Ia mencoba kalimat lain yang lebih atas
agar tidak merasa terlalu tertekan benar.
”Alwi tidak bisa sembarang libur.
Perusahaan yang sebesar itu yang menjadi tanggung jawabnya menyangkut khalayak
banyak dan negara. Ia lebih banyak ke luar negeri daripada ke daerah-daerah.”
Orang tua itu mulai batuk-batuk, setiap
ia melepaskan perasaannya. Napasnya agak sesak.
”Syukurlah Engku Guru,” jawab Tan
Marajo seenaknya.
”Syukur apa?”
”Ya, maksud saya, Engku Guru patut
bersyukur karena anak-anak Engku tida ada yang susah-susah cari uang seperti
anak-anak kami kebanyakan orang kampung kita ini.”
”Apa itu tidak susah? Kau lihat
bagaimana aku dulu menyekolahkan anak-anakku? Pulang mengajar, aku harus
berkebun sayur dan pisang. Malah pisang-pisangku sempat diijon orang agar aku
cepat dapat uang belanja sekolah anak-anakku. Gaji guru? Mana cukup. Lepas
belanja seminggu saja sudah syukur. Sekarang Alwi sudah sarjana dalam dan luar
negeri. Tapi untuk menjenguk orangtuanya saja, ia tidak punya waktu karena
pemerintah terlalu berat memberinya beban pekerjaan.”
***
Ia seperti bicara pada dirinya sendiri
tanpa melihat lagi pada Tan Marajo. Tan Marajo memang telah pamit, karena sudah
dekat magrib. Sayang pendengarannya memang kurang baik, sehingga ia tidak tahu
bahwa lawan bicaranya sudah pergi. Dari amben warung kopi itu ia memandang jauh
ke perbukitan yang mulai remang cahaya. Lalu ia dikejutkan oleh sentuhan tangan
cucu perempuan yang paling disayanginya, putri Anis, anak bungsunya yang setia
tinggal bersamanya di rumah orang tua itu.
”Ibu suruh jemput kakek, sebentar lagi
magrib.”
”Ya, ya. Untung ibumu tidak merantau
pula. Kalau tidak, dengan siapa aku tinggal?”
Putri kecil itu hanya tersenyum karena
tidak mengerti apa yang sedang bergejolak di pikiran kakeknya itu. Ia hanya membimbing
kakeknya pulang ke rumah dan berusaha menjaga kakeknya agar tetap berjalan di
pinggir karena kendaraan yang meluncur di jalan hotmix itu bisa-bisa tidak
terdengar oleh telinganya yang kurang berfungsi dengan baik.
Dulu jalan itu memang jalan kampung
berkerikil dan berlubang-lubang, kendaraan tidak terlalu banyak. Sekarang
setelah menjadi bagian dari pinggiran kota, jalan itu menjadi mulus dan besar.
Apalagi di dekat kampung itu sekarang telah berdiri rumah-rumah pemukim baru
yang dibangun real estate. Jalan itu sekarang menjadi ramai, sementara penduduk
asli masih merasa jalan itu sebagian halaman rumahnya.
Walaupun sebenarnya jarak warung kopi
Jalil ke rumahnya tidak sampai lima ratus meter, bagi Pak Kasim cukup membuat
napasnya sesak. Tapi, sebagai warga kampung, satu-satunya ajang bersosialisasi
adalah warung kopi itu selain masjid. Lagipula, ia ingin ada orang lain yang
mendengarkan suaranya. Di situlah tempatnya. Di rumah ia sering tinggal
sendiri, kecuali anak-anak Anis yang asyik bermain. Menantunya sibuk mengajar
di sekolah dari pagi hingga siang dan di sekolah swasta sore harinya. Terlalu
sepi.
***
Pada suatu malam, ia telah lama
menunggu telepon dari Alwi. Setelah habis siaran televisi, tidak juga berdering
telepon itu. Ia nekat menelepon Alwi. Lama baru ada jawaban. Suara itu bukan
pula suara Alwi. Tidak pula suara istri Alwi, melainkan suara pembantu yang
medok.
”Tuan dan nyonya baru saja berangkat ke
Paris sore ini. Kalau bapak ada pesan, biar saya rekam. Ngomong saja Pak.”
Lelaki tua itu membanting telepon. Dengan susah payah, ia menemukan kertas
putih dan pena. Lalu ia menulis panjang sekali. Setelah menulis dua halaman
penuh di atas kertas folio putih, ia merasa pusing. Mencoba berbaring. Tapi
pusingnya tidak mau hilang. Ia enggan membangunkan anak bungsunya yang esok
harus bangun pagi karena tugasnya menunggu di sekolah, seperti yang
dilakukannya selama tiga puluh lima tahun dulu.
Lelaki tua itu pasrah. Membaca doa-doa.
Semuanya menjadi gelap. Lalu ia merasa melayang-layang. Tenaganya hilang
lenyap. Badannya serasa kapas, terombang-ambing dibawa angin sejuk yang aneh.
Lelaki itu menangkap cahaya lembut dan jalan lempang tanpa ujung. Tetapi
telepon berdering. Ia tak punya keinginan apa-apa untuk mengangkat gagang
telepon itu lagi.
***
Telepon berdering terus. Lama baru Anis
buru-buru masuk ke kamar ayahnya untuk mengangkat telepon itu. Lampu kamar itu
masih terang benderang. Sekilas dilihatnya ayahnya tidur nyenyak dan surat yang
baru saja ditulis tergeletak di meja.
”Ya, halo. Dari mana? Paris?”
”Ya, ini Bang Alwi dari Paris. Ini Anis? Bagaimana ayah? Sehat?”
”Ya, ayah tidur, eh tunggu sebentar...
Ayah...ayah... Bangun Yah. Aduh, bagaimana ini. Bang Syariiiif, ayah meninggal.
Halo, ayah tidak ada lagi.”
”Halo, bagaimana? Ayah ke mana?”
“Ayah meninggal!”
Syarif, suami Anis mencoba mencari nadi
di pergelangan mertuanya. Tamat. Riwayat orang tua itu sudah tamat. Anis
menangis, Syarif menutup wajah orang tua itu dengan selendang. Lalu membaca
surat yang baru saja ditulis orang tua itu di meja. Di balik kertas bertuliskan
surat wasiat itu ditemukan Syarif buku tabungan yang kalau tidak salah lebih
dari dua puluh satu juta rupiah. Syarif tercengang karena wesel yang selama ini
diterima orang tua itu dari Alwi, tak sepeser pun dibelanjakannya. Kini dalam
surat wasiatnya, uang itu diwariskannya kembali kepada anak laki-lakinya
satu-satunya, Alwi.
Alwi pulang ke kampung langsung dari
Paris mendapatkan tanah merah dan warisan buku tabungan di bank. Cerita itu
lama berkembang di kampung saya hingga kini.
Padang, Januari
1993
Kompas, 7
Februari 1993
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istilah wacana berasal dari kata
sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu
kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan
lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang
pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang
digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih
besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan.\
Cerpen ”Dari
Paris” ditulis oleh Harris Effendi Thahar, lelaki kelahiran Tembilahan, Riau 4
Januari 1950 dari keluarga perantau Minang. Harris Effendi Thahar termasuk
pengarang yang produktif. Di dalam karya-karyanya ia banyak memotret realitas
sosial yang terjadi di perkotaan. Karya-karyanya yang telah terbit diantaranya
adalah Lagu Sederhana Merdeka, Bendera Kertas dan Daun Jati, Si Padang, dan
lain-lain.
Cerpen
merupakan media yang efektif untuk mengungkapkan realitas sosial yang terjadi
di masyarakat. Dengan cerita yang menarik, tahap-tahap ketegangan cerita,
didukung dengan penciptaan karakter tokoh yang bervariasi, menjadikan cerpen
sebagai pilihan untuk itu. Berbeda dengan pidato atau khotbah yang lebih
terkesan menggurui, di dalam cerpen pembaca lebih dihadapkan pada suatu
fenomena dan akhirnya pembaca sendirilah yang akan mengambil makna dan
nilai-nilai di dalamnya, untuk kemudian dijadikan sebagai perenungan, refleksi,
dan juga kontrol sosial.
Wacana puisi adalah wacana yang
disampaikan dalam bentuk puisi.
·
Wacana puisi tulis (Puisi dan syair)
·
Wacana puisi lisan ( puisi yang dideklamasikan dan
lagu-lagu)
Puisi adalah bentuk karangan yang tidak terikat oleh rima, ritme, ataupun jumlah barisserta ditandai oleh bahasa yang padat.
B.
Saran
Mahasiswa di tuntut untuk lebih
dalam mempelajari pelajaran Bahasa Indonesia. Karena dengan itu dapat menambah
wawasan kita. Misalnya dalam pembuatan suatu wacana khususnya wacana puisi
sehingga kita tidak keliru lagi dan lebih memahami unsur-unsur yang
menyangkut tentang wacana.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Purba. 2007. Menyelami
Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis.
http://dictum4magz.wordpress.com.
diunduh Jumat 12 Maret 2010,
pukul 18.00
Anton M. Moeliono (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Discourse Analysis.
Cambridge: Cambridge University Press.
Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis
Wacana. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Cook,Guy. 1997. Discourse. Oxford: Oxford University Press.
Fairlough, Norman. 1997. Critical Discourse Analysis: The Critical Study
of Language. London:
Longman
Fatimah Djajasudarma. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan antar Unsur.
Bandung:
Eresco.
Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan.
1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-
aspek Bahasa
dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Hasan Alwi, et.al. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonasia. Jakarta:
Balai
Pustaka.
I.G.D. Oka dan Suparno. 1994. Linguisik Umum. Jakarta: Depdikbud.
Levinson. 1991. Pragmatics. Cambridge: CU Press.
McCarthy, Michael. 1990. Vocabulary. Oxford: Oxford University
Press
McCarthy, Michael. 1997. Discourse Analysis for Language Teachers.
Cambridge: Cambridge University Press.
Martutik. 2009. Hakikat Wacana dan Wacana
Bahasa Indonesia. http://pustaka.ut.ac.id. diunduh Jumat
12 Maret 2010, pukul 18.00.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana:Teori, Metode, dan Aplikasi prinsip-Prinsip
Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nunan, David. 1993. Introducing Discourse Analysis. London: Penguin
Books
0 komentar:
Posting Komentar